Blog ini berisi pendapat pribadi tentang berbagai peristiwa di sekitar penulis, baik yang dialami sendiri maupun pengalaman orang lain. Semoga bermanfaat...

Sabtu, 30 Agustus 2008

Berkerudung Di Bulan Ramadhan


Wanita itu tampil cantik sekali, dengan balutan jilbab dan baju muslim yang anggun. Aku memang pengagum wanita berkerudung. Di mataku, wanita berkerudung memancarkan aura yang berbeda. Wanita inipun demikian. Auranya begitu kuat memancar. Tapi... Lho, bukankah dia adalah wanita yang selama ini sering berbaju seksi. Paling tidak, ketiaknya selalu memandangi dunia. Pusar yang biasanya bersembunyi pun, makin senang memamerkan diri. Iya, dia wanita berkerudung itu wanita yang sama yang suka tampil seksi.

Alhamdulilah, dia sudah insyaf. Mungkin Allah sudah memberikan hidayah padanya. Buktinya, sudah 30 hari ini dia selalu membalut tubuhnya dengan pakaian yang rapat dan sangat sopan. Senyumnya tidak pernah lagi vulgar dan menggoda, melainkan penuh keihklasan. Wah, kalau makin banyak wanita yang seperti ini, bumiku akan mulai damai.

Eh... Apa yang terjadi kemudian? Tepat di hari ke 31, dia kok tidak lagi berkerudung? Lho, ketiaknya terbuka lagi. Pusarnya juga kembali dari tempat persembunyiannya. Wanita ini mulai berjingkrak-jingkrak lagi. Senyumnya, hmm... begitu menggoda. Benarkah dia wanita yang sama? Kuyakinkan diri sekian lama. Benar, dialah orangnya.

Aku tidak kenal wanita itu. Sama sekali. Aku hanya melihatnya di televisi dan media cetak. Selama Ramadhan, dia rutin menemuiku yang ‘kadang’ keranjingan kotak ajaib itu. Jutaan pasang mata lainnya mungkin juga melihat kerudungnya, karena selama Ramadhan dia muncul di beberapa saluran teve.

Kupikir dia insyaf. Setelah tanya kanan kiri ternyata bukan itu niatnya. Semua dilakukannya sebatas peran. Katanya, hidup ini panggung sandiwara, yang dipenuhi beragam peran. Kebetulan dia memerankan tokoh yang berbeda di bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Wanita ini melulu melakukannya dengan motif uang. "Itu bagian dari pekerjaan," katanya enteng.

"Lagi pula," dia menambahkan, "Hati orang tidak bisa dilhat dari penampilan luar. Banyak yang berkerudung, tapi hatinya liar."

Yang berkerudung saja masih liar, bagaimana mereka yang selalu sengaja mengumbar tubuhnya buat semua mata? Otak sehat kita pasti bisa menjawabnya! Memang sayang seribu sayang, bulan Ramadhan yang penuh rahmat ini, hanya menjadi ladang materi segelintir manusia-manusia munafik.

Ah… lebih baik introspeksi diri sendiri.

Wallahualam.

Pelajaran dari Pengamen Buta


“Awalnya saya mengeluh kepada Tuhan, kenapa saya buta?”

Ungkap seorang pengamen setelah menyanyi. Tidak biasanya pengamen berkata demikian. Kebanyakan pengamen akan bertutur tentang rencananya mengedarkan bungkus permen tempat uang. Tapi yang ini beda…

“Tapi setelah saya pikir, buat apa saya mengeluh dan menyesal?”

“Tuhan telah memberikan saya telinga untuk mendengar… memberikan mulut untuk berbicara dan memberikan tangan untuk bergerak serta kaki untuk melangkah ke manapun saya suka.”

“Saya masih bersyukur meski tidak bisa melihat…”

Meski awalnya tidak tertarik, apa boleh buat dakwah pengamen buta ini menarik juga. Apalagi dia juga melantunkan ayat Al Quran dengan fasihnya tentang bersyukur. “Wa in syakartum….” Yang artinya, Tuhan akan memberikan tambah nikmat kepada mereka yang bersyukur. Sebaliknya akan melaknat mereka yang mengingkari rezeki dari Nya.

Wah boleh juga nih pengamen buta. Suaranya juga nggak jelek, masih bisa dinikmatilah. Walaupun kalau dibandingkan dengan Aris Indonesia Idol itu mungkin agak jauh ya. Yang istimewa, dakwahnya itu. Tidak terasa menggurui. Malah terasa menyengat di kuping dan hati ini. Kebetulan saat itu, saya sedang melamun tentang berbagai pengandaian.

Andai aku begini, tentu bisa jadi begitu.

Andai aku punya ini, tentu akan bisa jadi seperti ini.

Begitu melihat dan mendengar pengamen buta itu, wah… rasanya tidak layak saya berandi-andai seperti itu. Seharusnya saya terus bersyukur dengan segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.

“Saya saja yang buta masih bisa bersyukur…” sambung pengamen itu.

“Seharusnya Anda yang punya penglihatan normal, lebih bersyukur lagi…” dia mengakhiri epilognya sambil membuka kantung permen tempat uang recehan.

“Anda benar, terima kasih peringatannya wahai pengamen buta!” ucapku dalam hati.

Rabu, 06 Agustus 2008

Impian Sepakbola Indonesia "Belajar Ke Luar Negeri, Seperti Habibie!"

Sejak kecil saya menyukai sepakbola. Kata ayah, saya sudah dikenalkan dengan bola sejak usia 1,5 tahun. Ayah memang pemain bola di kampung, yang cukup disegani, meski tidak sempat merambahi Liga Indonesia baik perserikatan maupun galatama. Saya juga bangga punya ayah pemain bola, yang kalau bertanding sangat ramai didukung warga.

Begitu beranjak besar, saya juga mengikuti jejak ayah - menjadi pemain bola kampung. Kata orang, saya punya bakat dan berpotensi jadi bintang. Memang benar, di klub kampung dan di sekolahan/kampus saya termasuk bintang sepakbola, yang terkenal dengan gol dan gocekan. Tapi nyatanya saya tidak menjadi pemain bola profesional, hanya jagoan kelas kampung dan kampus tadi. Waktu itu, saya lebih memilih belajar sekolah formal ketimbang sekolah sepakbola. Apalagi di daerah saya, belum ada sekolah sepakbola.

Beruntung sekarang banyak sekali sekolah sepakbola. Bahkan klub elit Arsenal pun buka sekolah di sini meski biayanya masih relatif tinggi. Tapi paling tidak, pemain muda berbakat atau mereka yang tertarik serius menekuni sepakbola bisa tersalurkan. Dengan demikian, kita punya harapan memiliki tim sepakbola yang tangguh.

Ini memang impian pecinta bola Indonesia sejak lama yang juga tidak kunjung terwujud. Saya ingat betul dekade 1980-an tim kita sempat memberi harapan, ketika mampu menyingkirkan Thailand pada Pra Piala Dunia. Tapi saya juga pernah begitu muak saat tim kita dilibas 7 gol tanpa balas oleh Thailand pada ajang Sea Games. So, kapan impian itu menjadi kenyatan?

Kirim Tim Ke Luar Negeri
Impian lagi-lagi muncul waktu pengurus PSSI mengirim tim muda ke luar negeri dengan nama proyek Garuda. Eh tapi hasilnya mengecewakan. Lalu datang lagi pengurus baru, dengan ide tim baru yang dikirim ke luar negeri. Malah tim ini sampai ikut kompetisi di Italia. Hasilnya? Tim dengan brand Primavera tersebut setali tiga uang. Gagal. Padahal mereka digadang-gadang sebagai tim masa depan bangsa ini.

Tampaknya pengurus sepakbola Indonesia tidak pernah kapok mengirim tim keluar negeri, meski biayanya sangat tinggi. Dekade 2000-an, mereka kembali mengirim satu tim muda berguru ke Eropa. Kali ke Belanda selama setahun dan dipoles oleh pelatih timnas Belanda. Hasilnya? Tim muda ini boleh disebut sebagai tim terburuk dibanding Garuda atau Primavera atau Bareti atau apalagi namanya...

Salah Konsep
Jelas sudah konsep mengirim satu tim utuh ke luar negeri bukan jawaban, untuk memperbaiki kualitas tim nasional. Pengalaman sudah menunjukkan hal itu. Tapi kenapa pengurus sepakbola kita tetap menyekolahkan satu tim. Baru-baru ini, mereka kembali akan membawa satu tim lagi untuk berguru ke Uruguay, dengan biaya yang tidak sedikit.

Mengirim pemain bola belajar di negara yang maju sepakbolanya, tentu bukan hal buruk. Malah sangat bagus untuk merangsang anak muda negeri ini, agar lebih tertarik mengggeluti olahraga kulit bundar ini. Tapi kalau konsepnya keliru, hasilnya pasti berantakan seperti yang sudah berkali-kali terjadi. Lalu konsep seperti apa? Mbok ya belajar pada sektor lain!

Belajar dari Sektor Lain
Lihatlah berapa banyak profesor cerdas asal Indonesia, yang berkiprah di Amerika, Inggris, Jerman, Belanda atau Jepang. Putera asli Indonesia mampu bersaing dengan siapapun di berbagai bidang keilmuan. Mereka pun bekerja di sana dengan standar yang sama bahkan lebih tinggi dari yang lainnya. Setiap tahun jumlah mereka terus bertambah, karena makin banyak orang Indonesia yang bersekolah disana.

Lho, bukankah pemain sepakbola kita juga banyak yang bersekolah ke luar? Kenapa tidak bisa berhasil dibanding para profesor itu? Konsepnya beda! Para intelektual itu, pergi ke luar negeri tidak berrombongan seperti pemain sepakbola. Mereka pun memilih bidang keilmuan terbaik yang ada di sebuah negara dalam jangka panjang.

BJ. Habibie misalnya, belajar teknologi pesawat terbang di Jerman, bukan di Jepang atau Amerika. Di sana, Habibie langsung nyemplung ke dalam budaya Jerman, bergaul dengan beragam karakter orang dari berbagai negara. Meskipun pergaulannya mayoritas dengan orang Jerman, sehingga dia teramat fasih berbahasa Jerman. Selama bertahun-tahun Habibie di sana, melupakan sifat dan sikap negatif lingkungan bangsanya dan terus menyelami sikap yang tepat untuk belajar ilmu pesawat. Dia lalu menjelma menjadi ilmuwan hebat, dan menjadi rebutan Jerman-Indonesia.

Butuh waktu lama untuk mencetak seorang Habibie. Sedangkan pemain bola kita, hanya setahun dua tahun saja belajar di sana. Apa yang diperoleh? Konsep inilah salah satu yang menyebabkan hasil pengiriman pemain bola keluar negeri selama ini, tidak memuaskan. Coba contek pola belajar para mahasiswa/pelajar Indonesia, yang kuliah di mancanegara.

Pertama, mereka tidak berkelompok dalam satu tim tertentu. Keuntungannya, mereka menjadi single fighter yang harus mampu beradaptasi dalam segala kondisi. Mereka tidak lagi tergantung pada segala sesuatu yang berbau Indonesia, baik teman, kerabat maupun keluarga. Tentu saja kondisi ini akan membentuk pribadi yang mandiri dan tangguh. Meski mungkin juga sebaliknya, terpengaruh budaya negatif. Tapi tetap lebih menguntungkan ketimbang berkelompok.

Kedua, mereka memilih bidang ilmu yang memang tepat di suatu negara. Belajar bisnis/manajemen kalau tidak di Amerika, Jerman, Australia atau Jepang. Bila mau teknologi tinggi, belajarlah di Jerman, Amerika atau Jepang. Jika mau ilmu hukum, Belandalah tempatnya. Pilihan ini sulit diperoleh bila berkolompok.

Ketiga, mereka bisa langsung mempraktikkan ilmunya dengan cara magang. Tidak ada gengsi apapun ketika mereka magang. Malah mereka memperoleh ilmu yang lebih dalam. Tidak jarang mereka melanjutkan bekerja di sebuah perusahaan tempat magang tersebut. Tentu setelah lulus kuliah. Kalau berkelompok? Tidak ada perusahaan yang menerima sekaligus satu tim bukan?
Mari kita bandingkan lebih detil, dengan konsep pengiriman tim ala PSSI. Satu tim berisi sekitar 20 orang. Maka meski hidup di negeri orang, mereka tidak bergaul dengan orang sana. Pemain hanya dengan pemain Indonesia lainnya. Rugi dong tinggal di negeri orang tapi tidak bisa menyelami budaya mereka. Kemampuan bahasa setempat pun menjadi kurang optimal. Kalau pemain kita bergaul dengan warga setempat, pasti tidak perlu lagi kursus bahasa. Padahal bahasa ini sangat penting untuk mengeruk ilmu mereka sebanyak-banyaknya.

Pemain kita pun akan tetap membawa sikap dan sifat dalam negeri, yang sebagian mungkin tidak klop dengan ilmu sepakbola modern, yang butuh disiplin tinggi, kerja keras, mandiri dll. Ingat, kita akan sangat terpengaruh oleh lingkungan dimana kita tinggal. Itu pula alasan kenapa mengirim pemain keluar negeri. Istilahnya biar ketularan. Tapi bagaimana mau ketularan kalau pergaulan terbatas antar sesama anggota tim yang sama –sama berasal dari Indonesia, yang budayanya sama (pemalas, tidak disiplin, bercanda dll).

Berikutnya, sebuah tim hanya akan mendapatkan ilmu yang sama, dengan tingkat penerimaan/pemahaman berbeda tergantung tingkat intelegensia masing-masing pemain. Bila belajar ke Brasil, ya hanya dapat ilmu sepakbola Brazil yang hebat dalam mengolah bola. Kalau ke italia ilmu yang paling hebat adalah bagaimana bertahan yang baik. Satu tim, ilmunya sama! Bagaimana bisa menjadi hebat???

Bandingkan bila 23 orang itu disebar ke beberapa sekolah sepakbola. 3 orang ke sekolah Ajax Amsterdam, 4 orang belajar di sekolah sepakbola MU, 3 orang ke SSB Juventus, 2 orang ke SSB Bayern Munchen, terus 5 orang ke SSB Boca Juniors, 5 orang lagi ke SSB di Sau Paulo. Biarkan mereka ngendon di sana sejak usia 15 tahun atau kurang. Biarkan juga mereka magang di klub-klub tersebut, siapa tahu malah jadi pemain inti. Petiklah hasilnya 5-10 tahun kemudian.....

Hmm, mimpiku punya timnas yang tangguh akan jadi kenyataan, karena kiper dan dua bek tengahnya hasil gemblengan Italia (Bufon dan Cannavaro), bek sayap hasil didikan Brasil (Roberto Carlos), pemain tengahnya polesan Belanda dan Jerman (Sneider dan Ballack), sedangkan penyerangnya terlatih di Argentina dan Brasil (Batistuta/Kaka/Ronaldo). Indonesia pasti akan menjadi salah satu kekuatan yang ditakuti. Akan muncul banyak Habibie di bidang sepakbola. Pasti bakal jadi rebutan. Dengan catatan kalau PSSI tetap punya anggaran mengirim pemain ke luar negeri.

Bagaimana dengan kekompakan? Bukankah sepakbola adalah olahraga tim?
Gampang sekali menjawabnya! Adakah tim nasional yang juara dunia atau juara Eropa yang berasal dari satu klub? Yang digembleng bersama-sama dalam jangka waktu panjang? Yang ikut kompetisi dalam satu tim yang sama? TIDAK ADA. Makin hebat penguasaan skill dan wawasan bermain seseorang, kian mudah mereka melakukan kerja sama.

Kalau PSSI menganggarkan dana pengiriman pemain untuk beasiswa model ini sejak dulu, mungkin saya tidak perlu sekolah formal, cukup belajar sepakbola saja di Brasil, Italia dll. Siapa tahu sekarang saya bisa seperti Tsubasa Ozora, tokoh kartun sepakbola Jepang, yang sukses membawa negerinya juara dunia. Tsubasa belajar di Brasil dan bergabung di klub elit Eropa.

Ah andai PSSI mau belajar!

Dodi Mawardi
Penulis, dosen dan penggemar sepakbola

Kamis, 17 Juli 2008

Bangga dengan yang Berbau Asing

Di dadanya - tepatnya di kaus bagian dada - tertulis dengan sangat mencolok, "I love Devil." Pemakainya begitu bangga dengan kaus tersebut dan memamerkannya kepada mata semua orang. Dada yang lain tertulis "Bad Girl". Lagi-lagi pemakainya sangat percaya diri mengenakan kaus ketat bertuliskan kosakata bahasa Inggris tersebut.

Saya seringkali terpaksa mengelus dada sendiri bila menyaksikan tingkah polah anak bangsa ini. "Kok bisa ya bangga dengan tulisan semacam itu? Mereka mengerti tidak sih apa maknanya?" Kalau diterjemahkan, maka yang pertama berarti aku pemuja setan, sedang yang kedua artinya gadis badung. Otak warasku mengatakan tidak mungkin mereka bangga dengan dua predikat itu.

Kaus bertuliskan kata-kata semacam itu, begitu banyak bertebaran dan dipakai oleh generasi muda kita. Para motivator seperti Andrie Wongso atau Mario Teguh sering bilang, kita akan terpengaruh oleh apa yang kita lihat. Misalnya kalau setiap bangun pagi kita selalu melihat gambar rumah bagus, maka otak kita akan berhasrat memilikinya. Suatu saat, keinginan itu bisa terwujud. Saya jadi ngeri mengingat ucapan para motivator, ketika melihat mereka yang bangga memakai kaus-kaus itu.

Sedangkan orang bijak mengungkapkan, kita adalah apa yang kita pakai. Nah lho! Kalau pendapat bijak yang berlaku, maka dua anak muda itu memang pemuja setan dan gadis badung. Tapi sekali lagi saya berusaha tidak percaya asumsi itu. Buat saya, anak muda adalah generasi yang masih putih. Paling buruk baru abu-abu, belum menjadi hitam.

Mungkin mereka tidak sengaja memakai kaos bertuliskan kata-kata asing itu. Mereka hanya terbawa arus, kebanyakan orang kita yang selalu bangga dengan hal-hal berbau barat (Amerika dan Eropa). Apapun itu. Tidak peduli artinya apa, pokoknya dipakai, bergaya dan bergengsi.

Hasil survey majalah Marketing yang dikomandani Handy Irawan menunjukkan itu; bahwa konsumen Indonesia sangat ‘foreign minded’. Maka jangan heran jika bola sepak bermerk asing dianggap lebih bagus dibanding bola sepak bermerk lokal. Padahal cara membuatnya sama, dengan bahan yang sama oleh produsen yang sama; orang Majalengka!

Jangan heran juga kalau banyak produk lokal, ‘terpaksa’ berbaju asing demi mengikuti mental konsumen. Mental kita… mental para anak muda juga.

Kasihan ya!?

Jumat, 11 Juli 2008

Banyak WTS di Senayan

Sesungguhnya saya enggan menulis tema yang satu ini, meski sudah sangat menyebalkan sampai ke ubun-ubun. Hanya satu alasannya, saya belum punya data otentik tentang masalah ini walaupun telah menjadi rahasia umum. Kita tahu sendiri bagaimana sikap para wakil rakyat menghadapi para pengkritik atau penyinggung perasaan. Ancamannya penjara karena diadukan ke meja hijau. Ingat kasus lagu Slank?!

Tapi rekaman pembicaraan Al Amin Nasution dengan sekretaris daerah Bintan dalam kasus korupsi alih lahan, membuat energi saya bertambah. “Ini harus ditulis,” bisik tangan kanan kiri saya yang biasa bertugas menyambungkan ide di kepala dengan komputer. Lalu keluarlah berbagai info, desas-desus, gosip dan isu, yang selama ini tersimpan rapi di folder khusus dalam otak saya.

Oh ya, biar Anda yang belum tahu rekaman percakapan Al Amin, ini saya cantumkan rekamannya, yang saya kutip dari situs Kaltim Post dengan pengurangan seperlunya.

Al Amin Nasution (AAN): Di mana, bos?
Azirwan (A): Di Ritz Carlton.
AAN: Namanya?
A: Mistere, tempatnya turun lift satu.
AAN: Jam berapa?
A: Jam 10-lah (22.00 WIB). Bos mau dicariin satu gitu? Tapi aku tak janji. Kalau diupayakan nanti, selera bos payah pula.
AAN: Ya, carikanlah.
A : Yang kira-kira udah lama aku kenal, bos ini paham kan kira-kira?
AAN: Yang kayak tadi malam kan bagus juga yang baju putih itu.
A: Tak bagus.
AAN: Udah dipakai ya?
A : …… Nanti aku carikan yang bagus.

Ternyata, memang ada WTS di Senayan. Bukan hanya di lokalisasi, bukan hanya di Blok M Jaksel, bukan hanya di daerah Kota. WTS Senayan ini bukan sembarangan WTS, melainkan WTS kelas atas dan terhormat pula Mereka adalah, Wakil-rakyat Tuna Susila!

Kabar-kabari tentang kebengalan sebagian (besar atau kecil entahlah) anggota DPR yang saya terima dalam kurun waktu sejak 1998 sampai sekarang, banyak sekali. Ketika saya masih suka wara-wiri ke gedung DPR, sejumlah informasi masuk telinga.
Rekan wartawan bergunjing, “Ada banyak kondom di tempat sampah…”
“Waah… siapa yang pakai tuh,” sahut yang lain sambil tertawa.
“Di lift, gue pernah ketemu wanita cantik dan germonya…” kata yang lain.
Ini namanya desas-desus dan pergunjingan. Faktanya terlihat dengan jelas, tapi kebenarannya masih meragukan.

Info yang satu ini, boleh disebut sangat akurat. Pemberi info seorang pemilik media cetak, yang punya akses luar biasa terhadap bintang iklan dan model. Baik model lama maupun model baru – yang baru nampang di media beberapa kali. Dia mengatakan, “Mas, dari Senayan (maksudnya gedung DPR) sering saya terima telpon… biasa menanyakan anak buahku.” Dia bukan germo, tapi menyebut para model sebagai anak buahnya.
“Maksudnya…” tanya saya pura-pura polos.
“Ya biasa lah mas, buat teman meeting… Mereka berani bayar harga tinggi untuk model yang sering keluar di media.”
Ooooh… ucapku dalam hati.
Bagaimana info yang satu ini, masuk kategori isu atau desas-desus atau gosip?

Info lainnya tidak kalah membuat bulu saya bergidik (entah bulu yang mana nih). Berita ini berasal dari rekan wartawan non DPR, yang sering jalan bersama wartawan DPR. Suatu ketika mereka mau naik ke tempat jumpa pers di sebuah hotel. Eh… tanpa sengaja mereka salah lantai. Sehingga… bertemu dengan seseorang berjas bersama wanita cantik. Pria berjas itu tampak kaget melihat wartawan DPR, dia celingak celinguk lalu mendekati wartawan DPR sambil berbisik, “Kamu jangan ribut ya…” Tak lupa, segenggam kertas berharga berpindah tangan ke wartawan DPR. Wartawan non DPR bingung dengan apa yang terjadi.
“Itu anggota DPR…” papar wartawan DPR.
“Terus kenapa grogi, dan deketin elo kaya begitu?” tanya wartawan non DPR tak mengerti.
“Itu bukan istrinya tahu!!!”
Bagaimana, makin yakin banyak WTS di Senayan?


Masih adakah informasi yang lain? Simpan dulu deh, ini saja sudah cukup meyakinkan saya tentang WTS di Senayan.


Bagi Anda yang punya informasi semacam ini, silahkan dibagi-bagikan melalui tulisan. Tapi yang valid berupa data atau fakta seperti di atas, bukan sekedar gosip. Siapa tahu kalau dikumpulkan bisa menjadi buku bestseller!

Selasa, 08 Juli 2008

Mental Bajaj di Mobil Pribadi

Pagi ini (10/04/08) jalan tol lingkar luar Simatupang kembali tersendat. ”Pasti ada kecelakaan lagi,” batinku. Sejak dua bulan lalu, jumlah kecelakaan di jalan tol semakin sering terjadi. Paling tidak, sering saya jumpai hampir setiap hari, ya hampir setiap hari. Tanda-tandanya, jalan tol yang biasanya lengang itu, menjadi macet beberapa kilometer. Persis seperti pagi ini.

Benar!
Tiga mobil pribadi dan sebuah bis Kowanbisata jurusan Ciputat-Rambutan terlibat dalam kecelakaan tersebut. Semua mobil ringsek, bagian depan dan belakang. Kaca-kaca berserakan dan sebuah bemper terlontar dari tempatnya. Beruntung tidak ada korban jiwa. Semua penumpang keempat kendaraan itu berhamburan keluar dengan selamat. Biasanya, sopir masing-masing mobil itu akan saling mengeluarkan emosi. Lalu, bak buk jual beli pukulan... Tapi saya tak sempat melihat kebiasaan itu, karena harus terus melaju.

Saya hanya mengurut dada, sambil berucap ”Wajar saja banyak kecelakaan, karena cara menyetir pengendara kita masih payah,” Dua hari sebelumnya, saya sempat sewot sendiri ketika melintasi jalan tol Simatupang. Sebuah mobil keren (sedan Honda) tiba-tiba memotong lajur di depan dengan kecepatan setara. Dia hendak pindah lajur dari yang paling kanan ke sebelah kiri. Sedangkan saya berada di lajur tengah. Caranya pindah lajur sungguh bukan perilaku terpuji. Jarak mobilnya hanya satu sampai dua meter saja. Jika saya tidak mengerem, sudah pasti tabrakan akan terjadi. Otomatis sambil mengerem, saya membunyikan klakson keras-keras! Sambil tidak lupa menggeleng-gelengkan kepala.

Pemandangan itu ternyata sangat sering terjadi. Meski tidak langsung saya alami. Sebagian diantaranya menyebabkan kecelakaan seperti kisah diatas. Mobil-mobil pribadi yang katanya dikendarai oleh manusia-manusia terpelajar, ternyata sama sekali tidak bisa dijadikan contoh. Mereka dengan sekehendak hatinya menginjak gas dan memelintir stang kemudi, tanpa peduli kendaraan lain di depan, di belakang dan di sampingnya. Pernah suatu ketika, sebuah mobil MVP mentereng kelas Rp 300-an juta, memotong lajur dari kanan ke kiri hendak keluar di pintu tol Depok. Karuan saja mobil lain di sampingnya kaget bukan kepalang. Beruntung tidak terjadi kecelakaan. Dan seorang polisi sudah menanti di mulut pintu tol sehingga mungkin mendapatkan rezeki nomplok dengan menilang mobil itu.

Dari berbagai kejadian itu, saya berkesimpulan:
1. Pemilik mobil pribadi di Jakarta, sebagian masih bermental sopir bajaj. Anda tahu sopir bajaj yang terkenal dengan anekdot, ”Hanya sopir bajaj dan Tuhan yang tahu kemana mereka akan berbelok.” Itu pula yang sekarang terjadi pada mobil-mobil pribadi.
2. Ada dua kemungkinan kenapa ini terjadi; a. Mereka tidak mau tahu dengan aturan, b. Mereka belum tahu aturan (artinya punya SIM melalui sistem tembak).


Ada Polisi Baru Lancar
Kesimpulan itu diperkuat dengan peristiwa beberapa bulan lalu, pasca Lebaran. Ketika pembangunan jalan ”BUSWAY” makin giat tapi sedikit terbengkalai, jalanan menjadi macet luar biasa. Semua pengendara, khususnya mobil pribadi, marah-marah kepada pengelola BUSWAY dan Pemda DKI. Umpatan para pengendara itu bisa kita lihat di surat pembaca koran (padahal korannya koran nasional – orang luar Jakarta tidak mengalami macet akibat BUSWAY). Atau bisa kita dengar di berbagai radio, karena ada sebuah radio yang khusus menerima umpatan dari pengemudi.

Beberapa hari kemudian, ribuan polisi dikerahkan. Lancar! Ya arus lalu lintas menjadi lebih lancar dari sebelumnya. Padahal, jalan BUSWAY-nya masih seperti semula, belum rampung! Lho??? Bukankah kemacetan karena jalur busway itu? Kenapa jalurnya masih seperti sediakala tapi arus lalulintas lebih lancar? Pasti penyebabnya bukan hanya jalan busway tersebut, melainkan juga faktor lain. Saya bisa pastikan faktor itu adalah PERILAKU kita sendiri.

Pada sebuah perempatan yang biasa macet, kehadiran polisi bisa membuat arusnya lebih lancar. Ketika tak ada polisi, setiap pengendara baik angkutan umum, sepeda motor, bajaj, maupun mobil pribadi yang keluaran 1980-an atau yang paling mentereng sekalipun, tidak ada yang mau mengalah! Mereka berebutan melewati perempatan itu. Tak peduli lampu menyala kuning, hijau atau merah. Tak peduli jalanan di depannya tersendat. Pokoknya maju terus pantang mundur.

Mental tidak mau kalah ini begitu kentara. Tampang-tampang para sopir baik sopir pribadi maupun pemilik mobilnya, terlihat sangat garang! Semangatnya penuh dengan mental kompetisi, tidak mau kalah! Begitu dikalahkan, maka dia akan sekuat tenaga untuk kembali mengalahkan. Kalau perlu ribut. Jangan heran, kalau umpatan dari pengendera sering sekali terdengar. Biasanya mereka secara sukarela mengabsen penghuni kebun binatang.

Kesimpulan kedua dari jalanan adalah:
1. Sopir kendaraan pribadi (baik sopir maupun pemiliknya) harus mau introspeksi diri.
2. Tak pantas rasanya hanya menyalahkan keadaan, mengumpat sopir angkutan umum, apalagi meledek sopir bajaj. (Maaf kepada sopir bajaj, karena menjadi judul artikel ini. Semata-mata untuk memudahkan makna saja).


Bermimpi seperti di Jepang, Singapura atau Amerika Serikat
Kapan perilaku sopir kendaraan pribadi bisa seperti di luar negeri? Secara pendidikan, pemilik mobil pribadi di negeri ini tidak kalah dibanding pemilik mobil di negara maju. Rata-rata adalah keluaran perguruan tinggi – cukup pintar untuk mengerti aturan di jalan. Saya tidak terlalu berharap perubahan terjadi pada pengemudi angkutan umum, karena sebagian dari mereka ternyata sudah jauh lebih mengerti dibanding pemilik kendaraan pribadi.

Yang saya tahu, pengendara mobil di Jepang sangat sopan. Seorang kawan yang pindah ke Jakarta kaget bukan main ketika berada di jalanan. Suara klakson bergaung setiap saat. Mentang-mentang hanya sebuah alat yang tidak ada lelahnya. Padahal, pak polisi sudah memberikan informasi termasuk ketika pengujian SIM, ”Klakson hanya digunakan untuk kondisi yang sangat dibutuhkan.” Bukan setiap saat, setiap menghadapi kendala di jalan. Ada mobil di depan yang lebih pelan, diklakson. Lampu baru saja menyala hijau langsung klakson. Sedikit-sedikit klakson. Sungguh mengganggu. Di Jepang, sesuai dengan aturan persis seperti yang disebutkan pak polisi. Klakson hanya berbunyi pada saat-saat tertentu. Apalagi malam hari, mungkin haram membunyikan klakson!

Di Singapura, kepolisi dan pemda setempat bahkan selalu melaksanakan pelatihan bagi para pemilik mobil, bagaimana berkendara dengan aman. Pelatihan ini dilakukan secara rutin, kepada setiap pemilik kendaraan secara bergantian. Jangan heran kalau kondisi jalanan di Singapura jauh lebih baik dibanding di sini. Padahal, jumlah orang kaya di sana secara prosentase jauh lebih banyak dibanding di Jakarta, sehingga jumlah mobilnya pun lebih banyak. Kok bisa teratur?

Saya pernah berkunjung ke kota kecil di Kentucky. Bowling Green, demikian nama kota kecil berpenduduk di bawah 50.000 orang tersebut. Aduh... jalanannya terlalu teratur! Tidak ada kemacetan, tapi tidak ada juga yang ugal-ugalan dengan kecepatan seenaknya. Mungkin tidak bisa dibandingkan dengan kota metropolitan, tapi mental mereka memang berbeda. Senyuman selalu tersungging dari mulut para pengendara, bahkan senyuman itu mereka berikan kepada orang yang tidak dikenalnya sekalipun. Nyaman dan damai. Padahal, tidak ada polisi di sana.

Ah, kalau mental di jalan masih seperti di Jakarta saat ini, sulit bagi kita mengharapkan jalanan yang memadai. Meski jumlah jalan ditambah, kemacetan dan kecelakaan akan selalu terjadi. Jalan terhambat pembangunan menjadi macet, jalan bebas hambatan seperti di tol, banyak kecelakaan.

Mental kita tidak jauh lebih baik dibanding mental sopir bajaj!

Fasilitas Gedung yang Menakutkan!

Kamis malam lalu (17/04/08) tanpa sengaja saya mendengarkan siaran di radio Kis FM. Kebetulan penyiarnya saya kenal, Uncle JC, seorang Amerika yang pintar berbusa-busa di depan mikrofon, tentu dalam bahasa Inggris. Kualitas suaranya memang OK banget. Enak didengar dan perlu – begitu mungkin istilah yang tepat meminjam tagline majalah Tempo.

Tema malam itu, si Uncle ini membahas gedung terburuk di Jakarta dan tempat paling tidak aman. Seorang pendengar, bercerita tentang pengalaman buruknya di sebuah apartemen di kawasan Casablanca. Dia bersama temannya berada di dalam sebuah lift yang jatuh beberapa lantai. Jelas mereka terluka, tapi pihak apartemen tidak bertanggung jawab!

Cerita itu mengingatkan saya pada sejumlah peristiwa yang melibatkan gedung-gedung modern di Jakarta, yang membuat penggunanya merasa tidak aman. Ingat kejadian di Pondok Indah Mal, ketika sejumlah orang tersangkut kakinya di tangga berjalan, karena menggunakan sandal karet? Ah mungkin itu belum seberapa. Di Gajah Mada Plasa pernah terjadi seorang bocah tergencek kepalanya ketika naik tangga berjalan. Namanya anak-anak tidak mau diam, kepalanya menjulur ke luar. Naas, jarak tangga dengan dinding terlalu dekat. Krek, kepalanya nyangkut di dinding. Saya lupa bagaimana nasib anak itu. Yang jelas setelah insiden tersebut, seluruh tangga berjalan di Gajah Mada Plasa sampai sekarang dibubuhi tulisan peringatan, ”Awas kepala!”.


Masih kurang menakutkan? Saya yakin Anda mengetahui dengan persis, sejumlah peristiwa jatuhnya mobil dari tempat parkir pusat belanja, perkantoran swasta dan pemerintah. Peristiwa-peristiwa itu merenggut korban jiwa. Lalu, berapa banyak kebakaran di gedung bertingkat yang gagal dipadamkan dengan segera akibat minimnya peralatan? Jika mengingat semuanya, merinding bulu kudukku.

Tapi entahlah, meski sudah berkali-kali terjadi, tampaknya kebanyakan dari kita mudah lupa. Betul kata pakar marketing Handy Irawan, bahwa salah satu karakter unik orang (konsumen) Indonesia adalah pendek ingatan. Begitu peristiwa yang satu berlalu, lupa. Hangat lagi saat peristiwa serupa terjadi, lalu lupa lagi. Begitu seterusnya, sehingga setiap peristiwa tidak berdampak permanen. Bahkan, banyak diantara kita yang nyeletuk, ”Ah mungkin sudah nasib!”

Beberapa tahun lalu saya bekerja di Gajah Mada Plasa. Gedung tua tapi tetap menampilkan diri sebagai pusat belanja modern. Tengok saja para penyewanya, mulai dari Rimo Departemen Store, pusat komputer Computrade sampai Inul Vista. Berbagai perusahaan non ritel pun berkantor di sana, termasuk perusahaan tempat saya bekerja radio bisnis PAS FM. Tapi apa yang kerap terjadi di gedung itu? Saya pikir, sama sekali tidak menunjukkan kemodernannya.

Listrik sering mati mendadak. Tak ada angin tak ada hujan, pet, listrik mogok menyala. Alamak, banyak orang terjebak di lift. Apalagi liftnya juga ajaib. Berkali-kali pekerja di sana gagal keluar dari lift, karena alat angkut modern pengganti tangga itu, sering ngadat. Teman saya pernah 12 kali turun naik dari lantai 1 sampai lantai 26 karena litfnya tidak mau berhenti dan membuka pintu. Bisa dibayangkan bagaimana stressnya mereka...

Dari berbagai kisah itu, satu kesimpulan yang bisa saya ambil. Bolehlah kita bangga memiliki gedung-gedung modern bahkan pencakar langit. Tapi jika mental kita belum beres dalam mengelola dan memeliharanya, saya pikir fasilitas modern itu lambat laun malah akan ’membunuh’ kita. Membunuh rasa aman, membunuh percaya diri... dan benar-benar membunuh!

Surat Terbuka untuk Para Khotib Jumat

Seperti biasa, kebanyakan isi khutbah khotib Jumat tidak menarik. Demikian pula hari itu (Jumat 18/04/08). Sang khotib yang berumur sekitar 60-an tahun, menyampaikan khutbahnya dengan sangat monoton. Dia membaca beberapa lembar bahan khutbah, yang saya tebak hasil tulisannya semalaman. Mungkin dia tidak tidur menyusunnya. Tapi tak mengapa tidak tidur, toh sebagai khotib dia bakal mendapatkan honor. Uang transpor, begitu istilahnya. Uang hasil kotak amal!

Sebagian besar jemaah, tertidur. Hanya satu dua baris depan yang masih melek, dan pura-pura menyimak. Tapi raut muka mereka menampakkan ketidaktertarikan. Bukan hanya monoton, sang khotib juga cukup panjang menyampaikan nasihatnya. Sekitar 30 menit! Padahal, Rasulullah memberikan contoh untuk mempersingkat khutbah!  Utusan Allah tersebut tahu betul, bahwa umatnya tidak akan tahan berlama-lama mendengarkan khutbah, di sela-sela aktivitas bekerja. Bete, begitu kata anak muda sekarang.

Pernah suatu kali, di mesjid yang sama, seorang khotib yang khutbah terlalu lama dihentikan oleh seorang jemaah. Bukan, bukan dengan cara memintanya segera berhenti. Bukan pula dengan interupsi ala anggota DPR. Melainkan dengan sebuah celetukan yang teramat keras di kupingku yang sedang tertidur saat itu. Jemaah itu berteriak, ”Amiiiiin” dengan lantangnya. Kupikir, aku sudah tertinggal bacaan alfatihah sang imam. Kata amiiin yang ampuh, karena tidak lama kemudian khotib mengakhiri khutbahnya.

Sodara-sodaraku khotib Jumat yang diberkahi Allah!
Mohon Anda belajar lebih giat lagi. Belajar dasar hukum khutbah Jumat, belajar komunikasi massa, belajar psikologi massa, belajar public speaking. Dan belajar-belajar yang lainnya. ’Hari gini’ kata anak gaul, khotib Jumat masih saja berkutat dengan ke’bodoh’annya. Bukan saya yang bilang, tapi seorang ulama besar (Syeh Zainuddin murid Ibnu Hajar Chaetamy) penulis karya fiqh klasik Fathul Muin. Dalam kitab tersebut, jelas-jelas tertulis, ”Hanya khotib yang bodoh yang memanjangkan khutbahnya.” Sesuai bukan dengan teladan Rasulullah?

Saya jadi teringat anekdot sufi tentang sopir bis alim tapi sering ugal-ugalan dan seorang alim ulama khotib Jumat yang panjang khutbahnya. Kira-kira, siapa diantara dua orang alim ini yang lebih dulu masuk syurga? Secara logika, pastilah ulama khotib bukan? Ternyata tidak. Sopir yang ugal-ugalan itulah jawabannya. Kenapa? Karena, setiap kali dia mengemudikan bisnya, seluruh penumpangnya melek dan mengingat Allah. Mereka takut terjadi kecelakaan akibat ugal-ugalannya sang sopir. Sedangkan khotib tadi justru sebaliknya. Karena khutbahnya sering lama, membuat sebagian besar jemaahnya tertidur dan otomatis melupakan Allah.

Lalu kenapa masih banyak khotib yang memaksakan diri berpanjang-panjang dalam khutbahnya? Biar terlihat dan terdengar keren?


Sodara-sodaraku khotib Jumat yang dimulyakan Allah Swt.
Belajar juga teori komunikasi melalui mata dan telinga. Mata punya karakter, kuat dalam mengingat sesuatu, sebaliknya telinga tidak demikian. Kuping sangat cepat lupa, sehingga muncul frase ”Masuk telinga kanan keluar telinga kiri.” Belum pernah ada ungkapan ”Masuk mata kanan keluar mata kiri” Telinga juga punya sifat cepat bosan. Sedangkan mata sebaliknya, cukup tahan lama dalam melihat sesuatu. Itulah sebabnya, para praktisi radio (yang melulu melayani telinga) mensiasati siarannya berdasarkan karakter telinga tersebut.

1. Waktu paling lama satu penyiar bicara adalah 10 menit. Setiap 10 menit harus berubah suara, bisa berganti iklan, lagu atau suara lainnya. (Saya pikir inilah kenapa ada dua khutbah dalam Sholat Jumat. Diselingi dengan jeda sejenak bukan? Nyatalah, Allah dan Rasulnya sudah lebih dulu tahu.)
2. Memanjakan telinga dengan suara yang menarik, bervariasi dan tidak monoton. (Siapa mau mendengarkan khotib yang berkhutbah dengan cara berteriak-teriak???)

Kalau praktisi radio tidak menggunakan siasat tersebut, maka pendengar akan berpindah ke frekuensi lain, dengan sangat mudahnya.

Nah, buat Anda para khotib Jumat, biar jemaah Anda tidak berpindah ke frekuensi lain (tertidur) saat Anda khotbah, pelajarilah ilmu-ilmu tersebut. Niscaya, khutbah Anda tidak akan sia-sia, dan Anda akan masuk syurga lebih cepat dibanding sopir bis yang ugal-ugalan.

Amin!

Listrik Oh Listrik

Hari itu (25/6/08)… saya luar biasa suntuk. Kesel, mangkel, pegel… semua campur aduk menjadi satu. Satu hal yang menyebabkan itu semuanya. “Listrik mati” dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Dan matinya listrik ini, datang begitu saja tanpa pemberitahuan. Mungkin PLN menganggap semua pelanggan sudah dianggap tahu, karena media massa sudah memberitakan bahwa Jawa dan Bali akan mendapatkan pemadaman bergiliran. (Meski operator di call center PLN 123 menolak pemadaman itu sebagai disebut giliran, melainkan hanya pemeliharaan – sakarepmulah!)

Alasan resminya jelas. Negeri kaya raya sumber daya alam ini, mengalami krisis listrik. “Pasokan batu bara tersendat…” demikian alasannya beberapa bulan lalu.
“Persediaan BBM menipis…” itu alasan berikutnya.
“Banyak pembangkit mengalami kerusakan…” alasan lainnya.
Entah apalagi alasan selanjutnya yang bakal dijejalkan petinggi PLN kepada masyarakat.

Seperti saya ungkapkan di atas, akibat matinya listrik ini, saya menjadi suntuk luar biasa. Saya bekerja di rumah mengandalkan satu unit komputer. Hidup mati saya tergantung komputer ini, yang menghasilkan belasan suku kata setiap bulannya. Komputer butuh listrik. Kalau listrik tidak ada, maka komputer saya seperti seonggok sampah tak berguna. Kadang saya melamun, “Kok teknologi makin tinggi malah makin bikin sengsara?” Dulu nenek moyang kita tidak butuh listrik untuk menulis. Cukup selembar kertas dan pena. Atau sebuah mesin ketik manual tanpa energi buatan. Mereka toh mampu menghasilkan karya-karya hebat.

Lha, sekarang saya tersiksa akibat komputer tanpa listrik!

Saya rugi moril dan materil. Belum lagi tambahan biaya pulsa, karena tiba-tiba saya harus bertelepon dan sms lebih banyak dari biasanya untuk mengisi waktu. Masih harus ditambah ongkos sewa rental komputer yang jaraknya cukup jauh (ongkos BBM juga) karena wilayah yang terkena giliran pemadaman cukup luas. Saya harus tetap menulis, karena inilah pekerjaan saya. Wajar jika para pengusaha garmen dan industri lain protes kepada PLN, karena mereka rugi Rp miliaran akibat pemadaman listrik ini. PLN menjawab, “Mohon maklum kami juga selalu merugi!”


Padahal satu hari sebelumnya, saya baru mendengar informasi dari radio bisnis PAS FM. “Peusahaan listrik di India Tata… meraih keuntungan tahun ini… meningkat dibanding tahun lalu.” Demikian penyiar PAS menyampaikan informasinya.
Aneh saya pikir!
Kok bisa perusahaan listrik India itu untung?
Pasti bohong!
Atau PAS FM yang salah kutip berita.

Lihat PLN! Tidak ada ceritanya mereka mendapatkan untung. Padahal PLN monopoli. Sedangkan perusahaan listrik India Tata, tidak monopoli. Masih ada perusahaan lain yang memasok energi di negeri tersebut. Pasti berita itu keliru!

Sejak dulu PLN selalu rugi bukan?
Sampai sekarang pun mereka masih rugi!
Tahun lalu saja mereka minta subsidi Rp belasan triliun.

Makanya, listrik di rumah saya hari ini mati selama 10 jam dan bergiliran di daerah lainnya. Tidak mungkin bisnis listrik menguntungkan. Kalau menguntungkan, pasti operator di call center PLN 123 tidak perlu memberi nasihat di akhir percakapan:

“Pak nanti kalau listriknya sudah menyala, mohon untuk menghemat. Pukul 17 sampai 22, paling tidak mematikan dua buah lampu. Terima kasih sudah menghubungi PLN…”

Mana ada perusahaan menguntungkan seperti Tata di India, meminta pelanggannya untuk berhemat. Betulkan PLN???

Wartawan Malas

Saya punya mentor jurnalistik yang sangat hebat. Namanya Andreas Harsono. Beberapa tahun silam, saya sering berkomunikasi langsung dengannya. Satu hal yang saya ingat betul pelajaran berharga darinya adalah… janganlah jadi wartawan yang pemalas. Jadilah wartawan yang rajin, selalu ingin tahu tapi tidak sok tahu, dan anggaplah pembaca/pendengar/pemirsa kita adalah orang-orang pintar. Sampai sekarang, wejangan itu masih saya terapkan, meskipun saya sudah jauh menarik diri dari pers. Sekarang saya menjadi penulis independen, yang tidak terikat dengan lembaga apapun dan tidak terikat untuk menulis apapun.

Apa yang diwanti-wanti mentor saya itu memang marak terjadi di dunia pers, terutama sejak masa reformasi bergulir. Media massa tumbuh subur, sedangkan sumber daya manusianya masih kurang. Secara kuantitas mencukupi karena banyak sekali pengangguran yang butuh pekerjaan. Tapi dari segi kualitas, jelas masih sangat timpang. Banyak sekali wartawan dadakan, yang sama sekali belum bisa menulis ketika mulai menjalani profesi wartawan. Banyak juga wartawan yang baru training sehari dua hari, lalu langsung terjun ke lapangan.

Sebenarnya sudah banyak contoh wartawan malas, yang sering saya ungkap. Tapi hari ini, kembali saya terusik dengan wartawan malas ini ketika melihat Berita Nusantara di TVRI. Saya jarang melihat stasiun TV milik publik tersebut. Begitu menonton, sebuah fakta wartawan malas langsung keluar.

Seorang reporter mewawancarai petani tambak di Jambi, yang terkena banjir. Naskah yang dibacakannya menyebutkan, kerugian petani itu akibat banjir mencapai puluhan juta rupiah. Lalu muncullah petikan wawancaranya. Seorang bapak tua pemilik tambak,
"Ditambak itu ada sekitar 15 ribu ekor (bibit) ikan. Habis semuanya…"
"Jadi kerugiannya berapa pak?" tanya sang reporter.
"Hitung aja mbak, 15 ribu dikali 200 rupiah per ekor. Ya sekitar 300 ribu, eh 30 juta…" papar pak tani itu.

Saya yakin Anda tidak semalas reporter tersebut. Silahkan bantu reporter itu untuk menghitung, karena dia malas untuk menghitung kembali. Jelas angkanya bukan 30 juta, melainkan hanya Rp 3 juta.

Banyak sekali reporter semacam ini, yang malas mencerna kembali apa yang diucapkan narasumber. Mereka hanya mau disuapi plus dikunyahkan sekalian. Contoh diatas kebetulan adalah contoh yang sangat mudah, karena menyangkut angka. Jangankan reporter sekelas TVRI daerah Jambi, wartawan sekaliber koran Kompas pun, beberapa kali melakukan kekeliruan semacam itu. Menyebut angka juta tertukar dengan miliar atau sebaliknya.

Lihatlah wartawan-wartawan politik atau nasional. Apa yang mereka dapatkan dari narasumber, itulah yang disampaikan kepada publik. Tanpa saringan sama sekali. Hanya segelintir media yang membuat saringan, melakukan cover both side dan memberikan informasi berkualitas kepada publik. Bukan hanya informasi adu mulut antar tokoh, yang sering membual dan isinya hanya sampah. Publik tidak butuh sampah. Publik butuh informasi berkualitas yang sudah diolah oleh koki-koki (wartawan) bermutu.

Semoga ke depan wartawan kita tidak lebih malas daripada kebanyakan wartawan sekarang.

Wartawan dan Suap

“Ah basi…”
Boleh saja Anda menganggap judul tulisan ini demikian, mengingat sudah bukan rahasia lagi, bahwa banyak wartawan yang biasa menerima suap. Atau yang lebih keren dengan sebutan penerima amplop. Sehingga muncul sebutan wartawan amplop. Tapi yakinlah saudara-saudaraku, masih banyak juga wartawan yang anti amplop.

Artikel ini muncul terkait liputan tentang Artalyta ‘calon Ratu Suap’ Suryani, yang gencar sejak Mei lalu. Apalagi setelah beredanya percakapan telepon orang dekat Syamsul Nursalim ini dengan para petinggi kejaksaan agung. Liputan wartawan makin berwarna dan semarak. Lihat saja di pengadilan! Pengunjungnya selalu membludak, khusunya terdiri dari banyak wartawan.

Ternyata, dalam hampir setiap sidang Artalyta, selalu tersedia makan siang gratis bukan seluruh pengunjung. Mungkin juga termasuk buat tersangka dan pengacaranya, jaksa, hakim dan pegawai pengadilan. Mungkin lho… Kalau wartawan? Sudah pasti, sebagian dari mereka menikmati makan siang gratis ini.

Dari mana makanan ini berasal? Apakah pengadilan sudah kaya raya menyediakan sajian khas berselera buat pengunjung? Sepengalaman saya dulu meliput di pengadilan, belum pernah ada bagi-bagi makanan gratis seperti itu. Lalu dari siapa?

Oh… ternyata dari ‘calon Ratu Suap’!
Seorang wanita muda cantik dan bersih terlihat sibuk di ruang pengadilan. Dialah yang mengkoordinir pembagian makanan itu. Bukan… dia bukan Artalyta, melainkan menantunya. Tentu sepengetahuan ibu mertuanya. Tujuannya? Biar pengunjung tidak keroncongan saat menunggu dan mengikuti sidang. Tujuan yang sangat mulia bukan?

Ah… namanya juga tersangka penyuap. Ada-ada saja usahanya untuk mendapatkan simpati pengunjung. Meski dengan cara terselubung semacam itu: menyuap juga.

Lalu apa hubungannya dengan wartawan?
Ini dia fokus dari artikel ini. Sejak dulu sampai sekarang, sebagian wartawan dari sebagian media massa paling senang meliput acara, yang menguntungkan mereka. Salah satunya, jika ada penyelenggara yang mengadakan kegiatan bertepatan dengan jam makan siang.
“Lumayan makan siang gratis!” kata seorang wartawan.
“Mengurangi biaya makan…” kata yang lain.

Maka jangan heran jika para penyelenggara acara (EO) atau perusahaan humas atau humas sebuah perusahaan, punya jadwal pasti dalam setiap mengadakan kegiatan atau jumpa pers. Kalau tidak jam makan siang, ya jam makan malam. Jangan coba-coba membuat acara jam 9 pagi selesai jam 11 siang, atau mulai jam 2 siang selesai jam 5 sore. Dijamin hanya sedikit wartawan yang datang.
“Ah cuma snack doang…” ujar beberapa wartawan.

Berkat makanan gratis ini, saya jamin persidangan Artalyta akan semakin ramai pengunjung. Termasuk, semakin ramai didatangi wartawan. Sebuah liputan di Trans TV menunjukkan hal tersebut. Sang reporter dengan riang gembiranya melaporkan persidangan Artalyta sambil menikmati makanan dan minuman gratisnya. Tak lupa, kameramannya juga mengambil gambar puluhan wartawan yang sedang asyik bersantap siang. Menyantap makanan yang berasal dari terdakwa kasus penyuapan.

Untuk kasus semacam ini, saya teringat rekan-rekan wartawan di Amerika sana. Terlepas baik buruknya negeri Paman Syam itu, untuk kisah yang satu ini bolehlah menjadi cermin. Konon, sebagian besar wartawan di sana enggan menikmati makan siang di lokasi tempat liputan mereka, khususnya yang disediakan oleh penyelenggara acara.
“Kami dibekali uang makan oleh kantor…” begitu alasan mereka.
“Kami tidak mau terpengaruh sedikitpun oleh penyelenggara kegiatan,” demikian alasan lainnya.

Cerita lainnya lebih dahsyat lagi. Sebagian besar media top di Amerika, membiayai sendiri para wartawannya jika mengikuti kunjungan kenegaraan sang presiden ke negara lain. Mereka menolak dibiayai dengan anggaran kepresidenan! Beda ya dengan di sini!

Jadi kesimpulannya, selamat menikmati opera suap yang akan semakin melebar ke mana-mana. Thanks to KPK yang dipimpin mantan jaksa, yang berani mengobok-obok mantan kantornya sendiri. “Hati-hati pak… banyak yang sakit hati.”

Ikut berduka cita untuk sebagian wartawan, yang seharusnya tidak ikut serta dalam opera suap ini, tapi sudah terlanjur basah menikmati suapan para pembikin berita.