Blog ini berisi pendapat pribadi tentang berbagai peristiwa di sekitar penulis, baik yang dialami sendiri maupun pengalaman orang lain. Semoga bermanfaat...

Selasa, 08 Juli 2008

Wartawan dan Suap

“Ah basi…”
Boleh saja Anda menganggap judul tulisan ini demikian, mengingat sudah bukan rahasia lagi, bahwa banyak wartawan yang biasa menerima suap. Atau yang lebih keren dengan sebutan penerima amplop. Sehingga muncul sebutan wartawan amplop. Tapi yakinlah saudara-saudaraku, masih banyak juga wartawan yang anti amplop.

Artikel ini muncul terkait liputan tentang Artalyta ‘calon Ratu Suap’ Suryani, yang gencar sejak Mei lalu. Apalagi setelah beredanya percakapan telepon orang dekat Syamsul Nursalim ini dengan para petinggi kejaksaan agung. Liputan wartawan makin berwarna dan semarak. Lihat saja di pengadilan! Pengunjungnya selalu membludak, khusunya terdiri dari banyak wartawan.

Ternyata, dalam hampir setiap sidang Artalyta, selalu tersedia makan siang gratis bukan seluruh pengunjung. Mungkin juga termasuk buat tersangka dan pengacaranya, jaksa, hakim dan pegawai pengadilan. Mungkin lho… Kalau wartawan? Sudah pasti, sebagian dari mereka menikmati makan siang gratis ini.

Dari mana makanan ini berasal? Apakah pengadilan sudah kaya raya menyediakan sajian khas berselera buat pengunjung? Sepengalaman saya dulu meliput di pengadilan, belum pernah ada bagi-bagi makanan gratis seperti itu. Lalu dari siapa?

Oh… ternyata dari ‘calon Ratu Suap’!
Seorang wanita muda cantik dan bersih terlihat sibuk di ruang pengadilan. Dialah yang mengkoordinir pembagian makanan itu. Bukan… dia bukan Artalyta, melainkan menantunya. Tentu sepengetahuan ibu mertuanya. Tujuannya? Biar pengunjung tidak keroncongan saat menunggu dan mengikuti sidang. Tujuan yang sangat mulia bukan?

Ah… namanya juga tersangka penyuap. Ada-ada saja usahanya untuk mendapatkan simpati pengunjung. Meski dengan cara terselubung semacam itu: menyuap juga.

Lalu apa hubungannya dengan wartawan?
Ini dia fokus dari artikel ini. Sejak dulu sampai sekarang, sebagian wartawan dari sebagian media massa paling senang meliput acara, yang menguntungkan mereka. Salah satunya, jika ada penyelenggara yang mengadakan kegiatan bertepatan dengan jam makan siang.
“Lumayan makan siang gratis!” kata seorang wartawan.
“Mengurangi biaya makan…” kata yang lain.

Maka jangan heran jika para penyelenggara acara (EO) atau perusahaan humas atau humas sebuah perusahaan, punya jadwal pasti dalam setiap mengadakan kegiatan atau jumpa pers. Kalau tidak jam makan siang, ya jam makan malam. Jangan coba-coba membuat acara jam 9 pagi selesai jam 11 siang, atau mulai jam 2 siang selesai jam 5 sore. Dijamin hanya sedikit wartawan yang datang.
“Ah cuma snack doang…” ujar beberapa wartawan.

Berkat makanan gratis ini, saya jamin persidangan Artalyta akan semakin ramai pengunjung. Termasuk, semakin ramai didatangi wartawan. Sebuah liputan di Trans TV menunjukkan hal tersebut. Sang reporter dengan riang gembiranya melaporkan persidangan Artalyta sambil menikmati makanan dan minuman gratisnya. Tak lupa, kameramannya juga mengambil gambar puluhan wartawan yang sedang asyik bersantap siang. Menyantap makanan yang berasal dari terdakwa kasus penyuapan.

Untuk kasus semacam ini, saya teringat rekan-rekan wartawan di Amerika sana. Terlepas baik buruknya negeri Paman Syam itu, untuk kisah yang satu ini bolehlah menjadi cermin. Konon, sebagian besar wartawan di sana enggan menikmati makan siang di lokasi tempat liputan mereka, khususnya yang disediakan oleh penyelenggara acara.
“Kami dibekali uang makan oleh kantor…” begitu alasan mereka.
“Kami tidak mau terpengaruh sedikitpun oleh penyelenggara kegiatan,” demikian alasan lainnya.

Cerita lainnya lebih dahsyat lagi. Sebagian besar media top di Amerika, membiayai sendiri para wartawannya jika mengikuti kunjungan kenegaraan sang presiden ke negara lain. Mereka menolak dibiayai dengan anggaran kepresidenan! Beda ya dengan di sini!

Jadi kesimpulannya, selamat menikmati opera suap yang akan semakin melebar ke mana-mana. Thanks to KPK yang dipimpin mantan jaksa, yang berani mengobok-obok mantan kantornya sendiri. “Hati-hati pak… banyak yang sakit hati.”

Ikut berduka cita untuk sebagian wartawan, yang seharusnya tidak ikut serta dalam opera suap ini, tapi sudah terlanjur basah menikmati suapan para pembikin berita.

Tidak ada komentar: