Blog ini berisi pendapat pribadi tentang berbagai peristiwa di sekitar penulis, baik yang dialami sendiri maupun pengalaman orang lain. Semoga bermanfaat...

Kamis, 17 Juli 2008

Bangga dengan yang Berbau Asing

Di dadanya - tepatnya di kaus bagian dada - tertulis dengan sangat mencolok, "I love Devil." Pemakainya begitu bangga dengan kaus tersebut dan memamerkannya kepada mata semua orang. Dada yang lain tertulis "Bad Girl". Lagi-lagi pemakainya sangat percaya diri mengenakan kaus ketat bertuliskan kosakata bahasa Inggris tersebut.

Saya seringkali terpaksa mengelus dada sendiri bila menyaksikan tingkah polah anak bangsa ini. "Kok bisa ya bangga dengan tulisan semacam itu? Mereka mengerti tidak sih apa maknanya?" Kalau diterjemahkan, maka yang pertama berarti aku pemuja setan, sedang yang kedua artinya gadis badung. Otak warasku mengatakan tidak mungkin mereka bangga dengan dua predikat itu.

Kaus bertuliskan kata-kata semacam itu, begitu banyak bertebaran dan dipakai oleh generasi muda kita. Para motivator seperti Andrie Wongso atau Mario Teguh sering bilang, kita akan terpengaruh oleh apa yang kita lihat. Misalnya kalau setiap bangun pagi kita selalu melihat gambar rumah bagus, maka otak kita akan berhasrat memilikinya. Suatu saat, keinginan itu bisa terwujud. Saya jadi ngeri mengingat ucapan para motivator, ketika melihat mereka yang bangga memakai kaus-kaus itu.

Sedangkan orang bijak mengungkapkan, kita adalah apa yang kita pakai. Nah lho! Kalau pendapat bijak yang berlaku, maka dua anak muda itu memang pemuja setan dan gadis badung. Tapi sekali lagi saya berusaha tidak percaya asumsi itu. Buat saya, anak muda adalah generasi yang masih putih. Paling buruk baru abu-abu, belum menjadi hitam.

Mungkin mereka tidak sengaja memakai kaos bertuliskan kata-kata asing itu. Mereka hanya terbawa arus, kebanyakan orang kita yang selalu bangga dengan hal-hal berbau barat (Amerika dan Eropa). Apapun itu. Tidak peduli artinya apa, pokoknya dipakai, bergaya dan bergengsi.

Hasil survey majalah Marketing yang dikomandani Handy Irawan menunjukkan itu; bahwa konsumen Indonesia sangat ‘foreign minded’. Maka jangan heran jika bola sepak bermerk asing dianggap lebih bagus dibanding bola sepak bermerk lokal. Padahal cara membuatnya sama, dengan bahan yang sama oleh produsen yang sama; orang Majalengka!

Jangan heran juga kalau banyak produk lokal, ‘terpaksa’ berbaju asing demi mengikuti mental konsumen. Mental kita… mental para anak muda juga.

Kasihan ya!?

Jumat, 11 Juli 2008

Banyak WTS di Senayan

Sesungguhnya saya enggan menulis tema yang satu ini, meski sudah sangat menyebalkan sampai ke ubun-ubun. Hanya satu alasannya, saya belum punya data otentik tentang masalah ini walaupun telah menjadi rahasia umum. Kita tahu sendiri bagaimana sikap para wakil rakyat menghadapi para pengkritik atau penyinggung perasaan. Ancamannya penjara karena diadukan ke meja hijau. Ingat kasus lagu Slank?!

Tapi rekaman pembicaraan Al Amin Nasution dengan sekretaris daerah Bintan dalam kasus korupsi alih lahan, membuat energi saya bertambah. “Ini harus ditulis,” bisik tangan kanan kiri saya yang biasa bertugas menyambungkan ide di kepala dengan komputer. Lalu keluarlah berbagai info, desas-desus, gosip dan isu, yang selama ini tersimpan rapi di folder khusus dalam otak saya.

Oh ya, biar Anda yang belum tahu rekaman percakapan Al Amin, ini saya cantumkan rekamannya, yang saya kutip dari situs Kaltim Post dengan pengurangan seperlunya.

Al Amin Nasution (AAN): Di mana, bos?
Azirwan (A): Di Ritz Carlton.
AAN: Namanya?
A: Mistere, tempatnya turun lift satu.
AAN: Jam berapa?
A: Jam 10-lah (22.00 WIB). Bos mau dicariin satu gitu? Tapi aku tak janji. Kalau diupayakan nanti, selera bos payah pula.
AAN: Ya, carikanlah.
A : Yang kira-kira udah lama aku kenal, bos ini paham kan kira-kira?
AAN: Yang kayak tadi malam kan bagus juga yang baju putih itu.
A: Tak bagus.
AAN: Udah dipakai ya?
A : …… Nanti aku carikan yang bagus.

Ternyata, memang ada WTS di Senayan. Bukan hanya di lokalisasi, bukan hanya di Blok M Jaksel, bukan hanya di daerah Kota. WTS Senayan ini bukan sembarangan WTS, melainkan WTS kelas atas dan terhormat pula Mereka adalah, Wakil-rakyat Tuna Susila!

Kabar-kabari tentang kebengalan sebagian (besar atau kecil entahlah) anggota DPR yang saya terima dalam kurun waktu sejak 1998 sampai sekarang, banyak sekali. Ketika saya masih suka wara-wiri ke gedung DPR, sejumlah informasi masuk telinga.
Rekan wartawan bergunjing, “Ada banyak kondom di tempat sampah…”
“Waah… siapa yang pakai tuh,” sahut yang lain sambil tertawa.
“Di lift, gue pernah ketemu wanita cantik dan germonya…” kata yang lain.
Ini namanya desas-desus dan pergunjingan. Faktanya terlihat dengan jelas, tapi kebenarannya masih meragukan.

Info yang satu ini, boleh disebut sangat akurat. Pemberi info seorang pemilik media cetak, yang punya akses luar biasa terhadap bintang iklan dan model. Baik model lama maupun model baru – yang baru nampang di media beberapa kali. Dia mengatakan, “Mas, dari Senayan (maksudnya gedung DPR) sering saya terima telpon… biasa menanyakan anak buahku.” Dia bukan germo, tapi menyebut para model sebagai anak buahnya.
“Maksudnya…” tanya saya pura-pura polos.
“Ya biasa lah mas, buat teman meeting… Mereka berani bayar harga tinggi untuk model yang sering keluar di media.”
Ooooh… ucapku dalam hati.
Bagaimana info yang satu ini, masuk kategori isu atau desas-desus atau gosip?

Info lainnya tidak kalah membuat bulu saya bergidik (entah bulu yang mana nih). Berita ini berasal dari rekan wartawan non DPR, yang sering jalan bersama wartawan DPR. Suatu ketika mereka mau naik ke tempat jumpa pers di sebuah hotel. Eh… tanpa sengaja mereka salah lantai. Sehingga… bertemu dengan seseorang berjas bersama wanita cantik. Pria berjas itu tampak kaget melihat wartawan DPR, dia celingak celinguk lalu mendekati wartawan DPR sambil berbisik, “Kamu jangan ribut ya…” Tak lupa, segenggam kertas berharga berpindah tangan ke wartawan DPR. Wartawan non DPR bingung dengan apa yang terjadi.
“Itu anggota DPR…” papar wartawan DPR.
“Terus kenapa grogi, dan deketin elo kaya begitu?” tanya wartawan non DPR tak mengerti.
“Itu bukan istrinya tahu!!!”
Bagaimana, makin yakin banyak WTS di Senayan?


Masih adakah informasi yang lain? Simpan dulu deh, ini saja sudah cukup meyakinkan saya tentang WTS di Senayan.


Bagi Anda yang punya informasi semacam ini, silahkan dibagi-bagikan melalui tulisan. Tapi yang valid berupa data atau fakta seperti di atas, bukan sekedar gosip. Siapa tahu kalau dikumpulkan bisa menjadi buku bestseller!

Selasa, 08 Juli 2008

Mental Bajaj di Mobil Pribadi

Pagi ini (10/04/08) jalan tol lingkar luar Simatupang kembali tersendat. ”Pasti ada kecelakaan lagi,” batinku. Sejak dua bulan lalu, jumlah kecelakaan di jalan tol semakin sering terjadi. Paling tidak, sering saya jumpai hampir setiap hari, ya hampir setiap hari. Tanda-tandanya, jalan tol yang biasanya lengang itu, menjadi macet beberapa kilometer. Persis seperti pagi ini.

Benar!
Tiga mobil pribadi dan sebuah bis Kowanbisata jurusan Ciputat-Rambutan terlibat dalam kecelakaan tersebut. Semua mobil ringsek, bagian depan dan belakang. Kaca-kaca berserakan dan sebuah bemper terlontar dari tempatnya. Beruntung tidak ada korban jiwa. Semua penumpang keempat kendaraan itu berhamburan keluar dengan selamat. Biasanya, sopir masing-masing mobil itu akan saling mengeluarkan emosi. Lalu, bak buk jual beli pukulan... Tapi saya tak sempat melihat kebiasaan itu, karena harus terus melaju.

Saya hanya mengurut dada, sambil berucap ”Wajar saja banyak kecelakaan, karena cara menyetir pengendara kita masih payah,” Dua hari sebelumnya, saya sempat sewot sendiri ketika melintasi jalan tol Simatupang. Sebuah mobil keren (sedan Honda) tiba-tiba memotong lajur di depan dengan kecepatan setara. Dia hendak pindah lajur dari yang paling kanan ke sebelah kiri. Sedangkan saya berada di lajur tengah. Caranya pindah lajur sungguh bukan perilaku terpuji. Jarak mobilnya hanya satu sampai dua meter saja. Jika saya tidak mengerem, sudah pasti tabrakan akan terjadi. Otomatis sambil mengerem, saya membunyikan klakson keras-keras! Sambil tidak lupa menggeleng-gelengkan kepala.

Pemandangan itu ternyata sangat sering terjadi. Meski tidak langsung saya alami. Sebagian diantaranya menyebabkan kecelakaan seperti kisah diatas. Mobil-mobil pribadi yang katanya dikendarai oleh manusia-manusia terpelajar, ternyata sama sekali tidak bisa dijadikan contoh. Mereka dengan sekehendak hatinya menginjak gas dan memelintir stang kemudi, tanpa peduli kendaraan lain di depan, di belakang dan di sampingnya. Pernah suatu ketika, sebuah mobil MVP mentereng kelas Rp 300-an juta, memotong lajur dari kanan ke kiri hendak keluar di pintu tol Depok. Karuan saja mobil lain di sampingnya kaget bukan kepalang. Beruntung tidak terjadi kecelakaan. Dan seorang polisi sudah menanti di mulut pintu tol sehingga mungkin mendapatkan rezeki nomplok dengan menilang mobil itu.

Dari berbagai kejadian itu, saya berkesimpulan:
1. Pemilik mobil pribadi di Jakarta, sebagian masih bermental sopir bajaj. Anda tahu sopir bajaj yang terkenal dengan anekdot, ”Hanya sopir bajaj dan Tuhan yang tahu kemana mereka akan berbelok.” Itu pula yang sekarang terjadi pada mobil-mobil pribadi.
2. Ada dua kemungkinan kenapa ini terjadi; a. Mereka tidak mau tahu dengan aturan, b. Mereka belum tahu aturan (artinya punya SIM melalui sistem tembak).


Ada Polisi Baru Lancar
Kesimpulan itu diperkuat dengan peristiwa beberapa bulan lalu, pasca Lebaran. Ketika pembangunan jalan ”BUSWAY” makin giat tapi sedikit terbengkalai, jalanan menjadi macet luar biasa. Semua pengendara, khususnya mobil pribadi, marah-marah kepada pengelola BUSWAY dan Pemda DKI. Umpatan para pengendara itu bisa kita lihat di surat pembaca koran (padahal korannya koran nasional – orang luar Jakarta tidak mengalami macet akibat BUSWAY). Atau bisa kita dengar di berbagai radio, karena ada sebuah radio yang khusus menerima umpatan dari pengemudi.

Beberapa hari kemudian, ribuan polisi dikerahkan. Lancar! Ya arus lalu lintas menjadi lebih lancar dari sebelumnya. Padahal, jalan BUSWAY-nya masih seperti semula, belum rampung! Lho??? Bukankah kemacetan karena jalur busway itu? Kenapa jalurnya masih seperti sediakala tapi arus lalulintas lebih lancar? Pasti penyebabnya bukan hanya jalan busway tersebut, melainkan juga faktor lain. Saya bisa pastikan faktor itu adalah PERILAKU kita sendiri.

Pada sebuah perempatan yang biasa macet, kehadiran polisi bisa membuat arusnya lebih lancar. Ketika tak ada polisi, setiap pengendara baik angkutan umum, sepeda motor, bajaj, maupun mobil pribadi yang keluaran 1980-an atau yang paling mentereng sekalipun, tidak ada yang mau mengalah! Mereka berebutan melewati perempatan itu. Tak peduli lampu menyala kuning, hijau atau merah. Tak peduli jalanan di depannya tersendat. Pokoknya maju terus pantang mundur.

Mental tidak mau kalah ini begitu kentara. Tampang-tampang para sopir baik sopir pribadi maupun pemilik mobilnya, terlihat sangat garang! Semangatnya penuh dengan mental kompetisi, tidak mau kalah! Begitu dikalahkan, maka dia akan sekuat tenaga untuk kembali mengalahkan. Kalau perlu ribut. Jangan heran, kalau umpatan dari pengendera sering sekali terdengar. Biasanya mereka secara sukarela mengabsen penghuni kebun binatang.

Kesimpulan kedua dari jalanan adalah:
1. Sopir kendaraan pribadi (baik sopir maupun pemiliknya) harus mau introspeksi diri.
2. Tak pantas rasanya hanya menyalahkan keadaan, mengumpat sopir angkutan umum, apalagi meledek sopir bajaj. (Maaf kepada sopir bajaj, karena menjadi judul artikel ini. Semata-mata untuk memudahkan makna saja).


Bermimpi seperti di Jepang, Singapura atau Amerika Serikat
Kapan perilaku sopir kendaraan pribadi bisa seperti di luar negeri? Secara pendidikan, pemilik mobil pribadi di negeri ini tidak kalah dibanding pemilik mobil di negara maju. Rata-rata adalah keluaran perguruan tinggi – cukup pintar untuk mengerti aturan di jalan. Saya tidak terlalu berharap perubahan terjadi pada pengemudi angkutan umum, karena sebagian dari mereka ternyata sudah jauh lebih mengerti dibanding pemilik kendaraan pribadi.

Yang saya tahu, pengendara mobil di Jepang sangat sopan. Seorang kawan yang pindah ke Jakarta kaget bukan main ketika berada di jalanan. Suara klakson bergaung setiap saat. Mentang-mentang hanya sebuah alat yang tidak ada lelahnya. Padahal, pak polisi sudah memberikan informasi termasuk ketika pengujian SIM, ”Klakson hanya digunakan untuk kondisi yang sangat dibutuhkan.” Bukan setiap saat, setiap menghadapi kendala di jalan. Ada mobil di depan yang lebih pelan, diklakson. Lampu baru saja menyala hijau langsung klakson. Sedikit-sedikit klakson. Sungguh mengganggu. Di Jepang, sesuai dengan aturan persis seperti yang disebutkan pak polisi. Klakson hanya berbunyi pada saat-saat tertentu. Apalagi malam hari, mungkin haram membunyikan klakson!

Di Singapura, kepolisi dan pemda setempat bahkan selalu melaksanakan pelatihan bagi para pemilik mobil, bagaimana berkendara dengan aman. Pelatihan ini dilakukan secara rutin, kepada setiap pemilik kendaraan secara bergantian. Jangan heran kalau kondisi jalanan di Singapura jauh lebih baik dibanding di sini. Padahal, jumlah orang kaya di sana secara prosentase jauh lebih banyak dibanding di Jakarta, sehingga jumlah mobilnya pun lebih banyak. Kok bisa teratur?

Saya pernah berkunjung ke kota kecil di Kentucky. Bowling Green, demikian nama kota kecil berpenduduk di bawah 50.000 orang tersebut. Aduh... jalanannya terlalu teratur! Tidak ada kemacetan, tapi tidak ada juga yang ugal-ugalan dengan kecepatan seenaknya. Mungkin tidak bisa dibandingkan dengan kota metropolitan, tapi mental mereka memang berbeda. Senyuman selalu tersungging dari mulut para pengendara, bahkan senyuman itu mereka berikan kepada orang yang tidak dikenalnya sekalipun. Nyaman dan damai. Padahal, tidak ada polisi di sana.

Ah, kalau mental di jalan masih seperti di Jakarta saat ini, sulit bagi kita mengharapkan jalanan yang memadai. Meski jumlah jalan ditambah, kemacetan dan kecelakaan akan selalu terjadi. Jalan terhambat pembangunan menjadi macet, jalan bebas hambatan seperti di tol, banyak kecelakaan.

Mental kita tidak jauh lebih baik dibanding mental sopir bajaj!

Fasilitas Gedung yang Menakutkan!

Kamis malam lalu (17/04/08) tanpa sengaja saya mendengarkan siaran di radio Kis FM. Kebetulan penyiarnya saya kenal, Uncle JC, seorang Amerika yang pintar berbusa-busa di depan mikrofon, tentu dalam bahasa Inggris. Kualitas suaranya memang OK banget. Enak didengar dan perlu – begitu mungkin istilah yang tepat meminjam tagline majalah Tempo.

Tema malam itu, si Uncle ini membahas gedung terburuk di Jakarta dan tempat paling tidak aman. Seorang pendengar, bercerita tentang pengalaman buruknya di sebuah apartemen di kawasan Casablanca. Dia bersama temannya berada di dalam sebuah lift yang jatuh beberapa lantai. Jelas mereka terluka, tapi pihak apartemen tidak bertanggung jawab!

Cerita itu mengingatkan saya pada sejumlah peristiwa yang melibatkan gedung-gedung modern di Jakarta, yang membuat penggunanya merasa tidak aman. Ingat kejadian di Pondok Indah Mal, ketika sejumlah orang tersangkut kakinya di tangga berjalan, karena menggunakan sandal karet? Ah mungkin itu belum seberapa. Di Gajah Mada Plasa pernah terjadi seorang bocah tergencek kepalanya ketika naik tangga berjalan. Namanya anak-anak tidak mau diam, kepalanya menjulur ke luar. Naas, jarak tangga dengan dinding terlalu dekat. Krek, kepalanya nyangkut di dinding. Saya lupa bagaimana nasib anak itu. Yang jelas setelah insiden tersebut, seluruh tangga berjalan di Gajah Mada Plasa sampai sekarang dibubuhi tulisan peringatan, ”Awas kepala!”.


Masih kurang menakutkan? Saya yakin Anda mengetahui dengan persis, sejumlah peristiwa jatuhnya mobil dari tempat parkir pusat belanja, perkantoran swasta dan pemerintah. Peristiwa-peristiwa itu merenggut korban jiwa. Lalu, berapa banyak kebakaran di gedung bertingkat yang gagal dipadamkan dengan segera akibat minimnya peralatan? Jika mengingat semuanya, merinding bulu kudukku.

Tapi entahlah, meski sudah berkali-kali terjadi, tampaknya kebanyakan dari kita mudah lupa. Betul kata pakar marketing Handy Irawan, bahwa salah satu karakter unik orang (konsumen) Indonesia adalah pendek ingatan. Begitu peristiwa yang satu berlalu, lupa. Hangat lagi saat peristiwa serupa terjadi, lalu lupa lagi. Begitu seterusnya, sehingga setiap peristiwa tidak berdampak permanen. Bahkan, banyak diantara kita yang nyeletuk, ”Ah mungkin sudah nasib!”

Beberapa tahun lalu saya bekerja di Gajah Mada Plasa. Gedung tua tapi tetap menampilkan diri sebagai pusat belanja modern. Tengok saja para penyewanya, mulai dari Rimo Departemen Store, pusat komputer Computrade sampai Inul Vista. Berbagai perusahaan non ritel pun berkantor di sana, termasuk perusahaan tempat saya bekerja radio bisnis PAS FM. Tapi apa yang kerap terjadi di gedung itu? Saya pikir, sama sekali tidak menunjukkan kemodernannya.

Listrik sering mati mendadak. Tak ada angin tak ada hujan, pet, listrik mogok menyala. Alamak, banyak orang terjebak di lift. Apalagi liftnya juga ajaib. Berkali-kali pekerja di sana gagal keluar dari lift, karena alat angkut modern pengganti tangga itu, sering ngadat. Teman saya pernah 12 kali turun naik dari lantai 1 sampai lantai 26 karena litfnya tidak mau berhenti dan membuka pintu. Bisa dibayangkan bagaimana stressnya mereka...

Dari berbagai kisah itu, satu kesimpulan yang bisa saya ambil. Bolehlah kita bangga memiliki gedung-gedung modern bahkan pencakar langit. Tapi jika mental kita belum beres dalam mengelola dan memeliharanya, saya pikir fasilitas modern itu lambat laun malah akan ’membunuh’ kita. Membunuh rasa aman, membunuh percaya diri... dan benar-benar membunuh!

Surat Terbuka untuk Para Khotib Jumat

Seperti biasa, kebanyakan isi khutbah khotib Jumat tidak menarik. Demikian pula hari itu (Jumat 18/04/08). Sang khotib yang berumur sekitar 60-an tahun, menyampaikan khutbahnya dengan sangat monoton. Dia membaca beberapa lembar bahan khutbah, yang saya tebak hasil tulisannya semalaman. Mungkin dia tidak tidur menyusunnya. Tapi tak mengapa tidak tidur, toh sebagai khotib dia bakal mendapatkan honor. Uang transpor, begitu istilahnya. Uang hasil kotak amal!

Sebagian besar jemaah, tertidur. Hanya satu dua baris depan yang masih melek, dan pura-pura menyimak. Tapi raut muka mereka menampakkan ketidaktertarikan. Bukan hanya monoton, sang khotib juga cukup panjang menyampaikan nasihatnya. Sekitar 30 menit! Padahal, Rasulullah memberikan contoh untuk mempersingkat khutbah!  Utusan Allah tersebut tahu betul, bahwa umatnya tidak akan tahan berlama-lama mendengarkan khutbah, di sela-sela aktivitas bekerja. Bete, begitu kata anak muda sekarang.

Pernah suatu kali, di mesjid yang sama, seorang khotib yang khutbah terlalu lama dihentikan oleh seorang jemaah. Bukan, bukan dengan cara memintanya segera berhenti. Bukan pula dengan interupsi ala anggota DPR. Melainkan dengan sebuah celetukan yang teramat keras di kupingku yang sedang tertidur saat itu. Jemaah itu berteriak, ”Amiiiiin” dengan lantangnya. Kupikir, aku sudah tertinggal bacaan alfatihah sang imam. Kata amiiin yang ampuh, karena tidak lama kemudian khotib mengakhiri khutbahnya.

Sodara-sodaraku khotib Jumat yang diberkahi Allah!
Mohon Anda belajar lebih giat lagi. Belajar dasar hukum khutbah Jumat, belajar komunikasi massa, belajar psikologi massa, belajar public speaking. Dan belajar-belajar yang lainnya. ’Hari gini’ kata anak gaul, khotib Jumat masih saja berkutat dengan ke’bodoh’annya. Bukan saya yang bilang, tapi seorang ulama besar (Syeh Zainuddin murid Ibnu Hajar Chaetamy) penulis karya fiqh klasik Fathul Muin. Dalam kitab tersebut, jelas-jelas tertulis, ”Hanya khotib yang bodoh yang memanjangkan khutbahnya.” Sesuai bukan dengan teladan Rasulullah?

Saya jadi teringat anekdot sufi tentang sopir bis alim tapi sering ugal-ugalan dan seorang alim ulama khotib Jumat yang panjang khutbahnya. Kira-kira, siapa diantara dua orang alim ini yang lebih dulu masuk syurga? Secara logika, pastilah ulama khotib bukan? Ternyata tidak. Sopir yang ugal-ugalan itulah jawabannya. Kenapa? Karena, setiap kali dia mengemudikan bisnya, seluruh penumpangnya melek dan mengingat Allah. Mereka takut terjadi kecelakaan akibat ugal-ugalannya sang sopir. Sedangkan khotib tadi justru sebaliknya. Karena khutbahnya sering lama, membuat sebagian besar jemaahnya tertidur dan otomatis melupakan Allah.

Lalu kenapa masih banyak khotib yang memaksakan diri berpanjang-panjang dalam khutbahnya? Biar terlihat dan terdengar keren?


Sodara-sodaraku khotib Jumat yang dimulyakan Allah Swt.
Belajar juga teori komunikasi melalui mata dan telinga. Mata punya karakter, kuat dalam mengingat sesuatu, sebaliknya telinga tidak demikian. Kuping sangat cepat lupa, sehingga muncul frase ”Masuk telinga kanan keluar telinga kiri.” Belum pernah ada ungkapan ”Masuk mata kanan keluar mata kiri” Telinga juga punya sifat cepat bosan. Sedangkan mata sebaliknya, cukup tahan lama dalam melihat sesuatu. Itulah sebabnya, para praktisi radio (yang melulu melayani telinga) mensiasati siarannya berdasarkan karakter telinga tersebut.

1. Waktu paling lama satu penyiar bicara adalah 10 menit. Setiap 10 menit harus berubah suara, bisa berganti iklan, lagu atau suara lainnya. (Saya pikir inilah kenapa ada dua khutbah dalam Sholat Jumat. Diselingi dengan jeda sejenak bukan? Nyatalah, Allah dan Rasulnya sudah lebih dulu tahu.)
2. Memanjakan telinga dengan suara yang menarik, bervariasi dan tidak monoton. (Siapa mau mendengarkan khotib yang berkhutbah dengan cara berteriak-teriak???)

Kalau praktisi radio tidak menggunakan siasat tersebut, maka pendengar akan berpindah ke frekuensi lain, dengan sangat mudahnya.

Nah, buat Anda para khotib Jumat, biar jemaah Anda tidak berpindah ke frekuensi lain (tertidur) saat Anda khotbah, pelajarilah ilmu-ilmu tersebut. Niscaya, khutbah Anda tidak akan sia-sia, dan Anda akan masuk syurga lebih cepat dibanding sopir bis yang ugal-ugalan.

Amin!

Listrik Oh Listrik

Hari itu (25/6/08)… saya luar biasa suntuk. Kesel, mangkel, pegel… semua campur aduk menjadi satu. Satu hal yang menyebabkan itu semuanya. “Listrik mati” dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Dan matinya listrik ini, datang begitu saja tanpa pemberitahuan. Mungkin PLN menganggap semua pelanggan sudah dianggap tahu, karena media massa sudah memberitakan bahwa Jawa dan Bali akan mendapatkan pemadaman bergiliran. (Meski operator di call center PLN 123 menolak pemadaman itu sebagai disebut giliran, melainkan hanya pemeliharaan – sakarepmulah!)

Alasan resminya jelas. Negeri kaya raya sumber daya alam ini, mengalami krisis listrik. “Pasokan batu bara tersendat…” demikian alasannya beberapa bulan lalu.
“Persediaan BBM menipis…” itu alasan berikutnya.
“Banyak pembangkit mengalami kerusakan…” alasan lainnya.
Entah apalagi alasan selanjutnya yang bakal dijejalkan petinggi PLN kepada masyarakat.

Seperti saya ungkapkan di atas, akibat matinya listrik ini, saya menjadi suntuk luar biasa. Saya bekerja di rumah mengandalkan satu unit komputer. Hidup mati saya tergantung komputer ini, yang menghasilkan belasan suku kata setiap bulannya. Komputer butuh listrik. Kalau listrik tidak ada, maka komputer saya seperti seonggok sampah tak berguna. Kadang saya melamun, “Kok teknologi makin tinggi malah makin bikin sengsara?” Dulu nenek moyang kita tidak butuh listrik untuk menulis. Cukup selembar kertas dan pena. Atau sebuah mesin ketik manual tanpa energi buatan. Mereka toh mampu menghasilkan karya-karya hebat.

Lha, sekarang saya tersiksa akibat komputer tanpa listrik!

Saya rugi moril dan materil. Belum lagi tambahan biaya pulsa, karena tiba-tiba saya harus bertelepon dan sms lebih banyak dari biasanya untuk mengisi waktu. Masih harus ditambah ongkos sewa rental komputer yang jaraknya cukup jauh (ongkos BBM juga) karena wilayah yang terkena giliran pemadaman cukup luas. Saya harus tetap menulis, karena inilah pekerjaan saya. Wajar jika para pengusaha garmen dan industri lain protes kepada PLN, karena mereka rugi Rp miliaran akibat pemadaman listrik ini. PLN menjawab, “Mohon maklum kami juga selalu merugi!”


Padahal satu hari sebelumnya, saya baru mendengar informasi dari radio bisnis PAS FM. “Peusahaan listrik di India Tata… meraih keuntungan tahun ini… meningkat dibanding tahun lalu.” Demikian penyiar PAS menyampaikan informasinya.
Aneh saya pikir!
Kok bisa perusahaan listrik India itu untung?
Pasti bohong!
Atau PAS FM yang salah kutip berita.

Lihat PLN! Tidak ada ceritanya mereka mendapatkan untung. Padahal PLN monopoli. Sedangkan perusahaan listrik India Tata, tidak monopoli. Masih ada perusahaan lain yang memasok energi di negeri tersebut. Pasti berita itu keliru!

Sejak dulu PLN selalu rugi bukan?
Sampai sekarang pun mereka masih rugi!
Tahun lalu saja mereka minta subsidi Rp belasan triliun.

Makanya, listrik di rumah saya hari ini mati selama 10 jam dan bergiliran di daerah lainnya. Tidak mungkin bisnis listrik menguntungkan. Kalau menguntungkan, pasti operator di call center PLN 123 tidak perlu memberi nasihat di akhir percakapan:

“Pak nanti kalau listriknya sudah menyala, mohon untuk menghemat. Pukul 17 sampai 22, paling tidak mematikan dua buah lampu. Terima kasih sudah menghubungi PLN…”

Mana ada perusahaan menguntungkan seperti Tata di India, meminta pelanggannya untuk berhemat. Betulkan PLN???

Wartawan Malas

Saya punya mentor jurnalistik yang sangat hebat. Namanya Andreas Harsono. Beberapa tahun silam, saya sering berkomunikasi langsung dengannya. Satu hal yang saya ingat betul pelajaran berharga darinya adalah… janganlah jadi wartawan yang pemalas. Jadilah wartawan yang rajin, selalu ingin tahu tapi tidak sok tahu, dan anggaplah pembaca/pendengar/pemirsa kita adalah orang-orang pintar. Sampai sekarang, wejangan itu masih saya terapkan, meskipun saya sudah jauh menarik diri dari pers. Sekarang saya menjadi penulis independen, yang tidak terikat dengan lembaga apapun dan tidak terikat untuk menulis apapun.

Apa yang diwanti-wanti mentor saya itu memang marak terjadi di dunia pers, terutama sejak masa reformasi bergulir. Media massa tumbuh subur, sedangkan sumber daya manusianya masih kurang. Secara kuantitas mencukupi karena banyak sekali pengangguran yang butuh pekerjaan. Tapi dari segi kualitas, jelas masih sangat timpang. Banyak sekali wartawan dadakan, yang sama sekali belum bisa menulis ketika mulai menjalani profesi wartawan. Banyak juga wartawan yang baru training sehari dua hari, lalu langsung terjun ke lapangan.

Sebenarnya sudah banyak contoh wartawan malas, yang sering saya ungkap. Tapi hari ini, kembali saya terusik dengan wartawan malas ini ketika melihat Berita Nusantara di TVRI. Saya jarang melihat stasiun TV milik publik tersebut. Begitu menonton, sebuah fakta wartawan malas langsung keluar.

Seorang reporter mewawancarai petani tambak di Jambi, yang terkena banjir. Naskah yang dibacakannya menyebutkan, kerugian petani itu akibat banjir mencapai puluhan juta rupiah. Lalu muncullah petikan wawancaranya. Seorang bapak tua pemilik tambak,
"Ditambak itu ada sekitar 15 ribu ekor (bibit) ikan. Habis semuanya…"
"Jadi kerugiannya berapa pak?" tanya sang reporter.
"Hitung aja mbak, 15 ribu dikali 200 rupiah per ekor. Ya sekitar 300 ribu, eh 30 juta…" papar pak tani itu.

Saya yakin Anda tidak semalas reporter tersebut. Silahkan bantu reporter itu untuk menghitung, karena dia malas untuk menghitung kembali. Jelas angkanya bukan 30 juta, melainkan hanya Rp 3 juta.

Banyak sekali reporter semacam ini, yang malas mencerna kembali apa yang diucapkan narasumber. Mereka hanya mau disuapi plus dikunyahkan sekalian. Contoh diatas kebetulan adalah contoh yang sangat mudah, karena menyangkut angka. Jangankan reporter sekelas TVRI daerah Jambi, wartawan sekaliber koran Kompas pun, beberapa kali melakukan kekeliruan semacam itu. Menyebut angka juta tertukar dengan miliar atau sebaliknya.

Lihatlah wartawan-wartawan politik atau nasional. Apa yang mereka dapatkan dari narasumber, itulah yang disampaikan kepada publik. Tanpa saringan sama sekali. Hanya segelintir media yang membuat saringan, melakukan cover both side dan memberikan informasi berkualitas kepada publik. Bukan hanya informasi adu mulut antar tokoh, yang sering membual dan isinya hanya sampah. Publik tidak butuh sampah. Publik butuh informasi berkualitas yang sudah diolah oleh koki-koki (wartawan) bermutu.

Semoga ke depan wartawan kita tidak lebih malas daripada kebanyakan wartawan sekarang.

Wartawan dan Suap

“Ah basi…”
Boleh saja Anda menganggap judul tulisan ini demikian, mengingat sudah bukan rahasia lagi, bahwa banyak wartawan yang biasa menerima suap. Atau yang lebih keren dengan sebutan penerima amplop. Sehingga muncul sebutan wartawan amplop. Tapi yakinlah saudara-saudaraku, masih banyak juga wartawan yang anti amplop.

Artikel ini muncul terkait liputan tentang Artalyta ‘calon Ratu Suap’ Suryani, yang gencar sejak Mei lalu. Apalagi setelah beredanya percakapan telepon orang dekat Syamsul Nursalim ini dengan para petinggi kejaksaan agung. Liputan wartawan makin berwarna dan semarak. Lihat saja di pengadilan! Pengunjungnya selalu membludak, khusunya terdiri dari banyak wartawan.

Ternyata, dalam hampir setiap sidang Artalyta, selalu tersedia makan siang gratis bukan seluruh pengunjung. Mungkin juga termasuk buat tersangka dan pengacaranya, jaksa, hakim dan pegawai pengadilan. Mungkin lho… Kalau wartawan? Sudah pasti, sebagian dari mereka menikmati makan siang gratis ini.

Dari mana makanan ini berasal? Apakah pengadilan sudah kaya raya menyediakan sajian khas berselera buat pengunjung? Sepengalaman saya dulu meliput di pengadilan, belum pernah ada bagi-bagi makanan gratis seperti itu. Lalu dari siapa?

Oh… ternyata dari ‘calon Ratu Suap’!
Seorang wanita muda cantik dan bersih terlihat sibuk di ruang pengadilan. Dialah yang mengkoordinir pembagian makanan itu. Bukan… dia bukan Artalyta, melainkan menantunya. Tentu sepengetahuan ibu mertuanya. Tujuannya? Biar pengunjung tidak keroncongan saat menunggu dan mengikuti sidang. Tujuan yang sangat mulia bukan?

Ah… namanya juga tersangka penyuap. Ada-ada saja usahanya untuk mendapatkan simpati pengunjung. Meski dengan cara terselubung semacam itu: menyuap juga.

Lalu apa hubungannya dengan wartawan?
Ini dia fokus dari artikel ini. Sejak dulu sampai sekarang, sebagian wartawan dari sebagian media massa paling senang meliput acara, yang menguntungkan mereka. Salah satunya, jika ada penyelenggara yang mengadakan kegiatan bertepatan dengan jam makan siang.
“Lumayan makan siang gratis!” kata seorang wartawan.
“Mengurangi biaya makan…” kata yang lain.

Maka jangan heran jika para penyelenggara acara (EO) atau perusahaan humas atau humas sebuah perusahaan, punya jadwal pasti dalam setiap mengadakan kegiatan atau jumpa pers. Kalau tidak jam makan siang, ya jam makan malam. Jangan coba-coba membuat acara jam 9 pagi selesai jam 11 siang, atau mulai jam 2 siang selesai jam 5 sore. Dijamin hanya sedikit wartawan yang datang.
“Ah cuma snack doang…” ujar beberapa wartawan.

Berkat makanan gratis ini, saya jamin persidangan Artalyta akan semakin ramai pengunjung. Termasuk, semakin ramai didatangi wartawan. Sebuah liputan di Trans TV menunjukkan hal tersebut. Sang reporter dengan riang gembiranya melaporkan persidangan Artalyta sambil menikmati makanan dan minuman gratisnya. Tak lupa, kameramannya juga mengambil gambar puluhan wartawan yang sedang asyik bersantap siang. Menyantap makanan yang berasal dari terdakwa kasus penyuapan.

Untuk kasus semacam ini, saya teringat rekan-rekan wartawan di Amerika sana. Terlepas baik buruknya negeri Paman Syam itu, untuk kisah yang satu ini bolehlah menjadi cermin. Konon, sebagian besar wartawan di sana enggan menikmati makan siang di lokasi tempat liputan mereka, khususnya yang disediakan oleh penyelenggara acara.
“Kami dibekali uang makan oleh kantor…” begitu alasan mereka.
“Kami tidak mau terpengaruh sedikitpun oleh penyelenggara kegiatan,” demikian alasan lainnya.

Cerita lainnya lebih dahsyat lagi. Sebagian besar media top di Amerika, membiayai sendiri para wartawannya jika mengikuti kunjungan kenegaraan sang presiden ke negara lain. Mereka menolak dibiayai dengan anggaran kepresidenan! Beda ya dengan di sini!

Jadi kesimpulannya, selamat menikmati opera suap yang akan semakin melebar ke mana-mana. Thanks to KPK yang dipimpin mantan jaksa, yang berani mengobok-obok mantan kantornya sendiri. “Hati-hati pak… banyak yang sakit hati.”

Ikut berduka cita untuk sebagian wartawan, yang seharusnya tidak ikut serta dalam opera suap ini, tapi sudah terlanjur basah menikmati suapan para pembikin berita.