Blog ini berisi pendapat pribadi tentang berbagai peristiwa di sekitar penulis, baik yang dialami sendiri maupun pengalaman orang lain. Semoga bermanfaat...

Selasa, 08 Juli 2008

Wartawan Malas

Saya punya mentor jurnalistik yang sangat hebat. Namanya Andreas Harsono. Beberapa tahun silam, saya sering berkomunikasi langsung dengannya. Satu hal yang saya ingat betul pelajaran berharga darinya adalah… janganlah jadi wartawan yang pemalas. Jadilah wartawan yang rajin, selalu ingin tahu tapi tidak sok tahu, dan anggaplah pembaca/pendengar/pemirsa kita adalah orang-orang pintar. Sampai sekarang, wejangan itu masih saya terapkan, meskipun saya sudah jauh menarik diri dari pers. Sekarang saya menjadi penulis independen, yang tidak terikat dengan lembaga apapun dan tidak terikat untuk menulis apapun.

Apa yang diwanti-wanti mentor saya itu memang marak terjadi di dunia pers, terutama sejak masa reformasi bergulir. Media massa tumbuh subur, sedangkan sumber daya manusianya masih kurang. Secara kuantitas mencukupi karena banyak sekali pengangguran yang butuh pekerjaan. Tapi dari segi kualitas, jelas masih sangat timpang. Banyak sekali wartawan dadakan, yang sama sekali belum bisa menulis ketika mulai menjalani profesi wartawan. Banyak juga wartawan yang baru training sehari dua hari, lalu langsung terjun ke lapangan.

Sebenarnya sudah banyak contoh wartawan malas, yang sering saya ungkap. Tapi hari ini, kembali saya terusik dengan wartawan malas ini ketika melihat Berita Nusantara di TVRI. Saya jarang melihat stasiun TV milik publik tersebut. Begitu menonton, sebuah fakta wartawan malas langsung keluar.

Seorang reporter mewawancarai petani tambak di Jambi, yang terkena banjir. Naskah yang dibacakannya menyebutkan, kerugian petani itu akibat banjir mencapai puluhan juta rupiah. Lalu muncullah petikan wawancaranya. Seorang bapak tua pemilik tambak,
"Ditambak itu ada sekitar 15 ribu ekor (bibit) ikan. Habis semuanya…"
"Jadi kerugiannya berapa pak?" tanya sang reporter.
"Hitung aja mbak, 15 ribu dikali 200 rupiah per ekor. Ya sekitar 300 ribu, eh 30 juta…" papar pak tani itu.

Saya yakin Anda tidak semalas reporter tersebut. Silahkan bantu reporter itu untuk menghitung, karena dia malas untuk menghitung kembali. Jelas angkanya bukan 30 juta, melainkan hanya Rp 3 juta.

Banyak sekali reporter semacam ini, yang malas mencerna kembali apa yang diucapkan narasumber. Mereka hanya mau disuapi plus dikunyahkan sekalian. Contoh diatas kebetulan adalah contoh yang sangat mudah, karena menyangkut angka. Jangankan reporter sekelas TVRI daerah Jambi, wartawan sekaliber koran Kompas pun, beberapa kali melakukan kekeliruan semacam itu. Menyebut angka juta tertukar dengan miliar atau sebaliknya.

Lihatlah wartawan-wartawan politik atau nasional. Apa yang mereka dapatkan dari narasumber, itulah yang disampaikan kepada publik. Tanpa saringan sama sekali. Hanya segelintir media yang membuat saringan, melakukan cover both side dan memberikan informasi berkualitas kepada publik. Bukan hanya informasi adu mulut antar tokoh, yang sering membual dan isinya hanya sampah. Publik tidak butuh sampah. Publik butuh informasi berkualitas yang sudah diolah oleh koki-koki (wartawan) bermutu.

Semoga ke depan wartawan kita tidak lebih malas daripada kebanyakan wartawan sekarang.

Tidak ada komentar: