Blog ini berisi pendapat pribadi tentang berbagai peristiwa di sekitar penulis, baik yang dialami sendiri maupun pengalaman orang lain. Semoga bermanfaat...

Sabtu, 30 Agustus 2008

Berkerudung Di Bulan Ramadhan


Wanita itu tampil cantik sekali, dengan balutan jilbab dan baju muslim yang anggun. Aku memang pengagum wanita berkerudung. Di mataku, wanita berkerudung memancarkan aura yang berbeda. Wanita inipun demikian. Auranya begitu kuat memancar. Tapi... Lho, bukankah dia adalah wanita yang selama ini sering berbaju seksi. Paling tidak, ketiaknya selalu memandangi dunia. Pusar yang biasanya bersembunyi pun, makin senang memamerkan diri. Iya, dia wanita berkerudung itu wanita yang sama yang suka tampil seksi.

Alhamdulilah, dia sudah insyaf. Mungkin Allah sudah memberikan hidayah padanya. Buktinya, sudah 30 hari ini dia selalu membalut tubuhnya dengan pakaian yang rapat dan sangat sopan. Senyumnya tidak pernah lagi vulgar dan menggoda, melainkan penuh keihklasan. Wah, kalau makin banyak wanita yang seperti ini, bumiku akan mulai damai.

Eh... Apa yang terjadi kemudian? Tepat di hari ke 31, dia kok tidak lagi berkerudung? Lho, ketiaknya terbuka lagi. Pusarnya juga kembali dari tempat persembunyiannya. Wanita ini mulai berjingkrak-jingkrak lagi. Senyumnya, hmm... begitu menggoda. Benarkah dia wanita yang sama? Kuyakinkan diri sekian lama. Benar, dialah orangnya.

Aku tidak kenal wanita itu. Sama sekali. Aku hanya melihatnya di televisi dan media cetak. Selama Ramadhan, dia rutin menemuiku yang ‘kadang’ keranjingan kotak ajaib itu. Jutaan pasang mata lainnya mungkin juga melihat kerudungnya, karena selama Ramadhan dia muncul di beberapa saluran teve.

Kupikir dia insyaf. Setelah tanya kanan kiri ternyata bukan itu niatnya. Semua dilakukannya sebatas peran. Katanya, hidup ini panggung sandiwara, yang dipenuhi beragam peran. Kebetulan dia memerankan tokoh yang berbeda di bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Wanita ini melulu melakukannya dengan motif uang. "Itu bagian dari pekerjaan," katanya enteng.

"Lagi pula," dia menambahkan, "Hati orang tidak bisa dilhat dari penampilan luar. Banyak yang berkerudung, tapi hatinya liar."

Yang berkerudung saja masih liar, bagaimana mereka yang selalu sengaja mengumbar tubuhnya buat semua mata? Otak sehat kita pasti bisa menjawabnya! Memang sayang seribu sayang, bulan Ramadhan yang penuh rahmat ini, hanya menjadi ladang materi segelintir manusia-manusia munafik.

Ah… lebih baik introspeksi diri sendiri.

Wallahualam.

Pelajaran dari Pengamen Buta


“Awalnya saya mengeluh kepada Tuhan, kenapa saya buta?”

Ungkap seorang pengamen setelah menyanyi. Tidak biasanya pengamen berkata demikian. Kebanyakan pengamen akan bertutur tentang rencananya mengedarkan bungkus permen tempat uang. Tapi yang ini beda…

“Tapi setelah saya pikir, buat apa saya mengeluh dan menyesal?”

“Tuhan telah memberikan saya telinga untuk mendengar… memberikan mulut untuk berbicara dan memberikan tangan untuk bergerak serta kaki untuk melangkah ke manapun saya suka.”

“Saya masih bersyukur meski tidak bisa melihat…”

Meski awalnya tidak tertarik, apa boleh buat dakwah pengamen buta ini menarik juga. Apalagi dia juga melantunkan ayat Al Quran dengan fasihnya tentang bersyukur. “Wa in syakartum….” Yang artinya, Tuhan akan memberikan tambah nikmat kepada mereka yang bersyukur. Sebaliknya akan melaknat mereka yang mengingkari rezeki dari Nya.

Wah boleh juga nih pengamen buta. Suaranya juga nggak jelek, masih bisa dinikmatilah. Walaupun kalau dibandingkan dengan Aris Indonesia Idol itu mungkin agak jauh ya. Yang istimewa, dakwahnya itu. Tidak terasa menggurui. Malah terasa menyengat di kuping dan hati ini. Kebetulan saat itu, saya sedang melamun tentang berbagai pengandaian.

Andai aku begini, tentu bisa jadi begitu.

Andai aku punya ini, tentu akan bisa jadi seperti ini.

Begitu melihat dan mendengar pengamen buta itu, wah… rasanya tidak layak saya berandi-andai seperti itu. Seharusnya saya terus bersyukur dengan segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.

“Saya saja yang buta masih bisa bersyukur…” sambung pengamen itu.

“Seharusnya Anda yang punya penglihatan normal, lebih bersyukur lagi…” dia mengakhiri epilognya sambil membuka kantung permen tempat uang recehan.

“Anda benar, terima kasih peringatannya wahai pengamen buta!” ucapku dalam hati.

Rabu, 06 Agustus 2008

Impian Sepakbola Indonesia "Belajar Ke Luar Negeri, Seperti Habibie!"

Sejak kecil saya menyukai sepakbola. Kata ayah, saya sudah dikenalkan dengan bola sejak usia 1,5 tahun. Ayah memang pemain bola di kampung, yang cukup disegani, meski tidak sempat merambahi Liga Indonesia baik perserikatan maupun galatama. Saya juga bangga punya ayah pemain bola, yang kalau bertanding sangat ramai didukung warga.

Begitu beranjak besar, saya juga mengikuti jejak ayah - menjadi pemain bola kampung. Kata orang, saya punya bakat dan berpotensi jadi bintang. Memang benar, di klub kampung dan di sekolahan/kampus saya termasuk bintang sepakbola, yang terkenal dengan gol dan gocekan. Tapi nyatanya saya tidak menjadi pemain bola profesional, hanya jagoan kelas kampung dan kampus tadi. Waktu itu, saya lebih memilih belajar sekolah formal ketimbang sekolah sepakbola. Apalagi di daerah saya, belum ada sekolah sepakbola.

Beruntung sekarang banyak sekali sekolah sepakbola. Bahkan klub elit Arsenal pun buka sekolah di sini meski biayanya masih relatif tinggi. Tapi paling tidak, pemain muda berbakat atau mereka yang tertarik serius menekuni sepakbola bisa tersalurkan. Dengan demikian, kita punya harapan memiliki tim sepakbola yang tangguh.

Ini memang impian pecinta bola Indonesia sejak lama yang juga tidak kunjung terwujud. Saya ingat betul dekade 1980-an tim kita sempat memberi harapan, ketika mampu menyingkirkan Thailand pada Pra Piala Dunia. Tapi saya juga pernah begitu muak saat tim kita dilibas 7 gol tanpa balas oleh Thailand pada ajang Sea Games. So, kapan impian itu menjadi kenyatan?

Kirim Tim Ke Luar Negeri
Impian lagi-lagi muncul waktu pengurus PSSI mengirim tim muda ke luar negeri dengan nama proyek Garuda. Eh tapi hasilnya mengecewakan. Lalu datang lagi pengurus baru, dengan ide tim baru yang dikirim ke luar negeri. Malah tim ini sampai ikut kompetisi di Italia. Hasilnya? Tim dengan brand Primavera tersebut setali tiga uang. Gagal. Padahal mereka digadang-gadang sebagai tim masa depan bangsa ini.

Tampaknya pengurus sepakbola Indonesia tidak pernah kapok mengirim tim keluar negeri, meski biayanya sangat tinggi. Dekade 2000-an, mereka kembali mengirim satu tim muda berguru ke Eropa. Kali ke Belanda selama setahun dan dipoles oleh pelatih timnas Belanda. Hasilnya? Tim muda ini boleh disebut sebagai tim terburuk dibanding Garuda atau Primavera atau Bareti atau apalagi namanya...

Salah Konsep
Jelas sudah konsep mengirim satu tim utuh ke luar negeri bukan jawaban, untuk memperbaiki kualitas tim nasional. Pengalaman sudah menunjukkan hal itu. Tapi kenapa pengurus sepakbola kita tetap menyekolahkan satu tim. Baru-baru ini, mereka kembali akan membawa satu tim lagi untuk berguru ke Uruguay, dengan biaya yang tidak sedikit.

Mengirim pemain bola belajar di negara yang maju sepakbolanya, tentu bukan hal buruk. Malah sangat bagus untuk merangsang anak muda negeri ini, agar lebih tertarik mengggeluti olahraga kulit bundar ini. Tapi kalau konsepnya keliru, hasilnya pasti berantakan seperti yang sudah berkali-kali terjadi. Lalu konsep seperti apa? Mbok ya belajar pada sektor lain!

Belajar dari Sektor Lain
Lihatlah berapa banyak profesor cerdas asal Indonesia, yang berkiprah di Amerika, Inggris, Jerman, Belanda atau Jepang. Putera asli Indonesia mampu bersaing dengan siapapun di berbagai bidang keilmuan. Mereka pun bekerja di sana dengan standar yang sama bahkan lebih tinggi dari yang lainnya. Setiap tahun jumlah mereka terus bertambah, karena makin banyak orang Indonesia yang bersekolah disana.

Lho, bukankah pemain sepakbola kita juga banyak yang bersekolah ke luar? Kenapa tidak bisa berhasil dibanding para profesor itu? Konsepnya beda! Para intelektual itu, pergi ke luar negeri tidak berrombongan seperti pemain sepakbola. Mereka pun memilih bidang keilmuan terbaik yang ada di sebuah negara dalam jangka panjang.

BJ. Habibie misalnya, belajar teknologi pesawat terbang di Jerman, bukan di Jepang atau Amerika. Di sana, Habibie langsung nyemplung ke dalam budaya Jerman, bergaul dengan beragam karakter orang dari berbagai negara. Meskipun pergaulannya mayoritas dengan orang Jerman, sehingga dia teramat fasih berbahasa Jerman. Selama bertahun-tahun Habibie di sana, melupakan sifat dan sikap negatif lingkungan bangsanya dan terus menyelami sikap yang tepat untuk belajar ilmu pesawat. Dia lalu menjelma menjadi ilmuwan hebat, dan menjadi rebutan Jerman-Indonesia.

Butuh waktu lama untuk mencetak seorang Habibie. Sedangkan pemain bola kita, hanya setahun dua tahun saja belajar di sana. Apa yang diperoleh? Konsep inilah salah satu yang menyebabkan hasil pengiriman pemain bola keluar negeri selama ini, tidak memuaskan. Coba contek pola belajar para mahasiswa/pelajar Indonesia, yang kuliah di mancanegara.

Pertama, mereka tidak berkelompok dalam satu tim tertentu. Keuntungannya, mereka menjadi single fighter yang harus mampu beradaptasi dalam segala kondisi. Mereka tidak lagi tergantung pada segala sesuatu yang berbau Indonesia, baik teman, kerabat maupun keluarga. Tentu saja kondisi ini akan membentuk pribadi yang mandiri dan tangguh. Meski mungkin juga sebaliknya, terpengaruh budaya negatif. Tapi tetap lebih menguntungkan ketimbang berkelompok.

Kedua, mereka memilih bidang ilmu yang memang tepat di suatu negara. Belajar bisnis/manajemen kalau tidak di Amerika, Jerman, Australia atau Jepang. Bila mau teknologi tinggi, belajarlah di Jerman, Amerika atau Jepang. Jika mau ilmu hukum, Belandalah tempatnya. Pilihan ini sulit diperoleh bila berkolompok.

Ketiga, mereka bisa langsung mempraktikkan ilmunya dengan cara magang. Tidak ada gengsi apapun ketika mereka magang. Malah mereka memperoleh ilmu yang lebih dalam. Tidak jarang mereka melanjutkan bekerja di sebuah perusahaan tempat magang tersebut. Tentu setelah lulus kuliah. Kalau berkelompok? Tidak ada perusahaan yang menerima sekaligus satu tim bukan?
Mari kita bandingkan lebih detil, dengan konsep pengiriman tim ala PSSI. Satu tim berisi sekitar 20 orang. Maka meski hidup di negeri orang, mereka tidak bergaul dengan orang sana. Pemain hanya dengan pemain Indonesia lainnya. Rugi dong tinggal di negeri orang tapi tidak bisa menyelami budaya mereka. Kemampuan bahasa setempat pun menjadi kurang optimal. Kalau pemain kita bergaul dengan warga setempat, pasti tidak perlu lagi kursus bahasa. Padahal bahasa ini sangat penting untuk mengeruk ilmu mereka sebanyak-banyaknya.

Pemain kita pun akan tetap membawa sikap dan sifat dalam negeri, yang sebagian mungkin tidak klop dengan ilmu sepakbola modern, yang butuh disiplin tinggi, kerja keras, mandiri dll. Ingat, kita akan sangat terpengaruh oleh lingkungan dimana kita tinggal. Itu pula alasan kenapa mengirim pemain keluar negeri. Istilahnya biar ketularan. Tapi bagaimana mau ketularan kalau pergaulan terbatas antar sesama anggota tim yang sama –sama berasal dari Indonesia, yang budayanya sama (pemalas, tidak disiplin, bercanda dll).

Berikutnya, sebuah tim hanya akan mendapatkan ilmu yang sama, dengan tingkat penerimaan/pemahaman berbeda tergantung tingkat intelegensia masing-masing pemain. Bila belajar ke Brasil, ya hanya dapat ilmu sepakbola Brazil yang hebat dalam mengolah bola. Kalau ke italia ilmu yang paling hebat adalah bagaimana bertahan yang baik. Satu tim, ilmunya sama! Bagaimana bisa menjadi hebat???

Bandingkan bila 23 orang itu disebar ke beberapa sekolah sepakbola. 3 orang ke sekolah Ajax Amsterdam, 4 orang belajar di sekolah sepakbola MU, 3 orang ke SSB Juventus, 2 orang ke SSB Bayern Munchen, terus 5 orang ke SSB Boca Juniors, 5 orang lagi ke SSB di Sau Paulo. Biarkan mereka ngendon di sana sejak usia 15 tahun atau kurang. Biarkan juga mereka magang di klub-klub tersebut, siapa tahu malah jadi pemain inti. Petiklah hasilnya 5-10 tahun kemudian.....

Hmm, mimpiku punya timnas yang tangguh akan jadi kenyataan, karena kiper dan dua bek tengahnya hasil gemblengan Italia (Bufon dan Cannavaro), bek sayap hasil didikan Brasil (Roberto Carlos), pemain tengahnya polesan Belanda dan Jerman (Sneider dan Ballack), sedangkan penyerangnya terlatih di Argentina dan Brasil (Batistuta/Kaka/Ronaldo). Indonesia pasti akan menjadi salah satu kekuatan yang ditakuti. Akan muncul banyak Habibie di bidang sepakbola. Pasti bakal jadi rebutan. Dengan catatan kalau PSSI tetap punya anggaran mengirim pemain ke luar negeri.

Bagaimana dengan kekompakan? Bukankah sepakbola adalah olahraga tim?
Gampang sekali menjawabnya! Adakah tim nasional yang juara dunia atau juara Eropa yang berasal dari satu klub? Yang digembleng bersama-sama dalam jangka waktu panjang? Yang ikut kompetisi dalam satu tim yang sama? TIDAK ADA. Makin hebat penguasaan skill dan wawasan bermain seseorang, kian mudah mereka melakukan kerja sama.

Kalau PSSI menganggarkan dana pengiriman pemain untuk beasiswa model ini sejak dulu, mungkin saya tidak perlu sekolah formal, cukup belajar sepakbola saja di Brasil, Italia dll. Siapa tahu sekarang saya bisa seperti Tsubasa Ozora, tokoh kartun sepakbola Jepang, yang sukses membawa negerinya juara dunia. Tsubasa belajar di Brasil dan bergabung di klub elit Eropa.

Ah andai PSSI mau belajar!

Dodi Mawardi
Penulis, dosen dan penggemar sepakbola