Pagi ini (10/04/08) jalan tol lingkar luar Simatupang kembali tersendat. ”Pasti ada kecelakaan lagi,” batinku. Sejak dua bulan lalu, jumlah kecelakaan di jalan tol semakin sering terjadi. Paling tidak, sering saya jumpai hampir setiap hari, ya hampir setiap hari. Tanda-tandanya, jalan tol yang biasanya lengang itu, menjadi macet beberapa kilometer. Persis seperti pagi ini.
Benar!
Tiga mobil pribadi dan sebuah bis Kowanbisata jurusan Ciputat-Rambutan terlibat dalam kecelakaan tersebut. Semua mobil ringsek, bagian depan dan belakang. Kaca-kaca berserakan dan sebuah bemper terlontar dari tempatnya. Beruntung tidak ada korban jiwa. Semua penumpang keempat kendaraan itu berhamburan keluar dengan selamat. Biasanya, sopir masing-masing mobil itu akan saling mengeluarkan emosi. Lalu, bak buk jual beli pukulan... Tapi saya tak sempat melihat kebiasaan itu, karena harus terus melaju.
Saya hanya mengurut dada, sambil berucap ”Wajar saja banyak kecelakaan, karena cara menyetir pengendara kita masih payah,” Dua hari sebelumnya, saya sempat sewot sendiri ketika melintasi jalan tol Simatupang. Sebuah mobil keren (sedan Honda) tiba-tiba memotong lajur di depan dengan kecepatan setara. Dia hendak pindah lajur dari yang paling kanan ke sebelah kiri. Sedangkan saya berada di lajur tengah. Caranya pindah lajur sungguh bukan perilaku terpuji. Jarak mobilnya hanya satu sampai dua meter saja. Jika saya tidak mengerem, sudah pasti tabrakan akan terjadi. Otomatis sambil mengerem, saya membunyikan klakson keras-keras! Sambil tidak lupa menggeleng-gelengkan kepala.
Pemandangan itu ternyata sangat sering terjadi. Meski tidak langsung saya alami. Sebagian diantaranya menyebabkan kecelakaan seperti kisah diatas. Mobil-mobil pribadi yang katanya dikendarai oleh manusia-manusia terpelajar, ternyata sama sekali tidak bisa dijadikan contoh. Mereka dengan sekehendak hatinya menginjak gas dan memelintir stang kemudi, tanpa peduli kendaraan lain di depan, di belakang dan di sampingnya. Pernah suatu ketika, sebuah mobil MVP mentereng kelas Rp 300-an juta, memotong lajur dari kanan ke kiri hendak keluar di pintu tol Depok. Karuan saja mobil lain di sampingnya kaget bukan kepalang. Beruntung tidak terjadi kecelakaan. Dan seorang polisi sudah menanti di mulut pintu tol sehingga mungkin mendapatkan rezeki nomplok dengan menilang mobil itu.
Dari berbagai kejadian itu, saya berkesimpulan:
1. Pemilik mobil pribadi di Jakarta, sebagian masih bermental sopir bajaj. Anda tahu sopir bajaj yang terkenal dengan anekdot, ”Hanya sopir bajaj dan Tuhan yang tahu kemana mereka akan berbelok.” Itu pula yang sekarang terjadi pada mobil-mobil pribadi.
2. Ada dua kemungkinan kenapa ini terjadi; a. Mereka tidak mau tahu dengan aturan, b. Mereka belum tahu aturan (artinya punya SIM melalui sistem tembak).
Ada Polisi Baru Lancar
Kesimpulan itu diperkuat dengan peristiwa beberapa bulan lalu, pasca Lebaran. Ketika pembangunan jalan ”BUSWAY” makin giat tapi sedikit terbengkalai, jalanan menjadi macet luar biasa. Semua pengendara, khususnya mobil pribadi, marah-marah kepada pengelola BUSWAY dan Pemda DKI. Umpatan para pengendara itu bisa kita lihat di surat pembaca koran (padahal korannya koran nasional – orang luar Jakarta tidak mengalami macet akibat BUSWAY). Atau bisa kita dengar di berbagai radio, karena ada sebuah radio yang khusus menerima umpatan dari pengemudi.
Beberapa hari kemudian, ribuan polisi dikerahkan. Lancar! Ya arus lalu lintas menjadi lebih lancar dari sebelumnya. Padahal, jalan BUSWAY-nya masih seperti semula, belum rampung! Lho??? Bukankah kemacetan karena jalur busway itu? Kenapa jalurnya masih seperti sediakala tapi arus lalulintas lebih lancar? Pasti penyebabnya bukan hanya jalan busway tersebut, melainkan juga faktor lain. Saya bisa pastikan faktor itu adalah PERILAKU kita sendiri.
Pada sebuah perempatan yang biasa macet, kehadiran polisi bisa membuat arusnya lebih lancar. Ketika tak ada polisi, setiap pengendara baik angkutan umum, sepeda motor, bajaj, maupun mobil pribadi yang keluaran 1980-an atau yang paling mentereng sekalipun, tidak ada yang mau mengalah! Mereka berebutan melewati perempatan itu. Tak peduli lampu menyala kuning, hijau atau merah. Tak peduli jalanan di depannya tersendat. Pokoknya maju terus pantang mundur.
Mental tidak mau kalah ini begitu kentara. Tampang-tampang para sopir baik sopir pribadi maupun pemilik mobilnya, terlihat sangat garang! Semangatnya penuh dengan mental kompetisi, tidak mau kalah! Begitu dikalahkan, maka dia akan sekuat tenaga untuk kembali mengalahkan. Kalau perlu ribut. Jangan heran, kalau umpatan dari pengendera sering sekali terdengar. Biasanya mereka secara sukarela mengabsen penghuni kebun binatang.
Kesimpulan kedua dari jalanan adalah:
1. Sopir kendaraan pribadi (baik sopir maupun pemiliknya) harus mau introspeksi diri.
2. Tak pantas rasanya hanya menyalahkan keadaan, mengumpat sopir angkutan umum, apalagi meledek sopir bajaj. (Maaf kepada sopir bajaj, karena menjadi judul artikel ini. Semata-mata untuk memudahkan makna saja).
Bermimpi seperti di Jepang, Singapura atau Amerika Serikat
Kapan perilaku sopir kendaraan pribadi bisa seperti di luar negeri? Secara pendidikan, pemilik mobil pribadi di negeri ini tidak kalah dibanding pemilik mobil di negara maju. Rata-rata adalah keluaran perguruan tinggi – cukup pintar untuk mengerti aturan di jalan. Saya tidak terlalu berharap perubahan terjadi pada pengemudi angkutan umum, karena sebagian dari mereka ternyata sudah jauh lebih mengerti dibanding pemilik kendaraan pribadi.
Yang saya tahu, pengendara mobil di Jepang sangat sopan. Seorang kawan yang pindah ke Jakarta kaget bukan main ketika berada di jalanan. Suara klakson bergaung setiap saat. Mentang-mentang hanya sebuah alat yang tidak ada lelahnya. Padahal, pak polisi sudah memberikan informasi termasuk ketika pengujian SIM, ”Klakson hanya digunakan untuk kondisi yang sangat dibutuhkan.” Bukan setiap saat, setiap menghadapi kendala di jalan. Ada mobil di depan yang lebih pelan, diklakson. Lampu baru saja menyala hijau langsung klakson. Sedikit-sedikit klakson. Sungguh mengganggu. Di Jepang, sesuai dengan aturan persis seperti yang disebutkan pak polisi. Klakson hanya berbunyi pada saat-saat tertentu. Apalagi malam hari, mungkin haram membunyikan klakson!
Di Singapura, kepolisi dan pemda setempat bahkan selalu melaksanakan pelatihan bagi para pemilik mobil, bagaimana berkendara dengan aman. Pelatihan ini dilakukan secara rutin, kepada setiap pemilik kendaraan secara bergantian. Jangan heran kalau kondisi jalanan di Singapura jauh lebih baik dibanding di sini. Padahal, jumlah orang kaya di sana secara prosentase jauh lebih banyak dibanding di Jakarta, sehingga jumlah mobilnya pun lebih banyak. Kok bisa teratur?
Saya pernah berkunjung ke kota kecil di Kentucky. Bowling Green, demikian nama kota kecil berpenduduk di bawah 50.000 orang tersebut. Aduh... jalanannya terlalu teratur! Tidak ada kemacetan, tapi tidak ada juga yang ugal-ugalan dengan kecepatan seenaknya. Mungkin tidak bisa dibandingkan dengan kota metropolitan, tapi mental mereka memang berbeda. Senyuman selalu tersungging dari mulut para pengendara, bahkan senyuman itu mereka berikan kepada orang yang tidak dikenalnya sekalipun. Nyaman dan damai. Padahal, tidak ada polisi di sana.
Ah, kalau mental di jalan masih seperti di Jakarta saat ini, sulit bagi kita mengharapkan jalanan yang memadai. Meski jumlah jalan ditambah, kemacetan dan kecelakaan akan selalu terjadi. Jalan terhambat pembangunan menjadi macet, jalan bebas hambatan seperti di tol, banyak kecelakaan.
Mental kita tidak jauh lebih baik dibanding mental sopir bajaj!
Blog ini berisi pendapat pribadi tentang berbagai peristiwa di sekitar penulis, baik yang dialami sendiri maupun pengalaman orang lain. Semoga bermanfaat...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Itulah Pak, pengalaman setir mobil sendiri di Jakarta. Sampai saya takut jika nanti harus "melepas" anak berkendara di jalan. Secara, dia sekarang hampir 16. Saya belum ijinkan dia ke jalan raya dengan alasan belum boleh punya SIM.
Posting Komentar